REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peluang peningkatan bisnis asuransi syariah bisa datang dari dukungan konkret pemerintah. Pengamat Asuransi Syariah, Erwin Noekman menyampaikan hingga saat ini belum ada program pemerintah yang menggunakan jasa asuransi syariah.
"Baik untuk menjamin aset atau aktivitas pemerintahan," katanya, Ahad (16/2).
Ini bisa jadi karena tingkat pemahaman yang masih rendah. Ia mencontohkan, diantara aset Pemerintah ada yang terkait dengan industri, seperti masjid milik negara, kampus-kampus Universitas Islam Negeri, madrasah, dan sejenisnya.
Aset tersebut apabila memang membutuhkan jaminan asuransi, tentunya Pemerintah bisa menggunakan asuransi syariah. Contoh lain adalah jaminan untuk underlying asset dalam penerbitan sukuk atau proyek-proyek infrastruktur yang menggunakan dana syariah.
"Apabila pemahaman atas halal value chain di atas sudah dimiliki dengan baik, diyakini industri asuransi syariah akan tumbuh lebih baik lagi, tanpa mengambil porsi dari industri asuransi konvensional," katanya.
Hal lain yang perlu mendapat perhatian dari Pemerintah adalah perlakuan sama rata antara perusahaan asuransi syariah dengan perusahaan asuransi konvensional. Salah satu dampak negatif perlakuan sama rata ini malah menimbulkan kerugian bagi industri asuransi syariah, termasuk bagi pemegang saham.
Salah satu contoh adalah penerapan aturan perpajakan dan aturan zakat. Pemegang saham, perusahaan dianggap sebagai salah satu wajib zakat (muzakki) sesuai UU Nomor 23 tahun 2011. Aturan ini sudah diundangkan, dalam level peraturan yang setara dengan UU Nomor 33 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan.
Apabila kedua ketentuan di atas diberlakukan secara bersamaan, perusahaan asuransi syariah terbebani dengan biaya tambahan. Untuk itu, diharapkan keadilan dalam berusaha, dengan pengurangan besaran pajak.
Sehingga setidaknya beban biaya total di perusahaan asuransi syariah menjadi setara atau bahkan lebih rendah ketimbang di perusahaan asuransi konvensional. Erwin berharap ada keberpihakan pemerintah untuk meringankan beban dalam pengembangan industri yang disebut masih infant.
"Karena hingga kini, belum ada satu pun lembaga keuangan syariah yang merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN)," kata Erwin yang juga Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia (AASI).
Beberapa yang ada masih berupa anak usaha BUMN atau Unit Syariah dari BUMN. Dalam Masterplan Ekonomi Syariah Indonesia 2019-2024, ada target mempunyai BUMN di sektor asuransi syariah pada tahun 2023 – 2024. Ini patut diapresiasi.
Bagaimanapun, keberadaan perusahaan asuransi syariah milik negara, bisa dijadikan indikator keberpihakan dan komitmen Pemerintah sesungguhnya. Bisa jadi, dengan keberadaan perusahaan asuransi syariah milik negara, semakin menghilangkan keraguan bagi Pemerintah untuk menjaminkan aset dan aktivitas pemerintahan kepada perusahaan tersebut.