REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Direktur Eksekutif Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia Mohammad Faisal menuturkan, pemerintah harus memperkuat ‘mesin’ domestik apabila ingin tetap menjaga momentum pertumbuhan ekonomi di angka lima persen pada tahun ini. Mesin tersebut adalah konsumsi rumah tangga.
Faisal menyebutkan, ketidakpastian pada ekonomi global diprediksi masih terus berada di titik tinggi sampai akhir tahun. Tensi dagang antara Iran dengan Amerika Serikat (AS) yang memburuk di tengah perang dagang AS dengan Cina yang belum selesai menjadi dua faktor utama penyebabnya.
Belum lagi, Faisal menambahkan, kebijakan Inggris untuk keluar dari Uni Eropa (UE) baru-baru ini yang membuat perdagangan makro global harus menyesuaikan diri lagi. Perpaduan kondisi tersebut membuat Indonesia tidak bisa mengandalkan ‘mesin’ ekonomi eskternal yang dinamis.
"Lebih pasti kita andalkan ekonomi dalam negeri," ucapnya ketika dihubungi Republika, Kamis (6/2).
Faisal menekankan, pemerintah harus merancang dan melaksanakan kebijakan yang kuat untuk menciptakan kepastian di skala domestik. Khususnya untuk mendorong daya beli masyarakat yang berdampak pada peningkatan konsumsi rumah tangga. Misal, menjaga inflasi, terutama volatile food, dan memberikan subsidi yang tepat sasaran.
Di sisi lain, pemerintah juga perlu memperkuat upaya menarik investasi, terutama di sektor manufaktur. Sektor ini diketahui memberikan dampak pengganda yang besar terhadap ekonomi masyarakat melalui penciptaan lapanga kerja.
Tapi, Faisal menjelaskan, bukan berarti Indonesia harus pasrah dengan kondisi eksternal. Salah satu strategi yang dapat dilakukan adalah dengan mengurangi ketergantungan hubungan dagang dengan Cina. "Kita ketahui, saat ini ada virus Corona yang membuat ekonomi Cina menjadi semakin tertekan," tuturnya.
Faisal menilai, perdagangan Indonesia hampir 100 persen bergantung ke Cina. Hal ini dapat terlihat dari impor bahan baku maupun konsumsi yang tinggi dari Cina. Dari sisi ekspor pun Cina menjadi salah satu pasar utama produk Indonesia. Wisatawan mancanegara asal Cina juga tercatat sebagai kontributor terbesar kedua sepanjang 2019, setelah Malaysia.
Apabila dominasi hubungan dagang ini terus dilanjutkan, Faisal cemas, ekonomi Indonesia semakin tergantung dengan ekonomi Cina. "Kita harus mulai diversifikasi negara mitra dagang," katanya.
Jika upaya ini dapat dilakukan secara maksimal, Faisal memprediksi, ekonomi Indonesia dapat tumbuh di kisaran 4,9 hingga 5,1 persen pada 2020. Angka ini di bawah proyeksi pemerintah yang menetapkan pertumbuhan ekonoi sepanjang 2020 di tingkat 5,3 persen dalam Undang-Undang APBN 2020.