Rabu 29 Jan 2020 12:57 WIB

Pertamina Batal Gandeng ENI Bangun Green Refinery

Proyek green refinery Pertamina-ENI sempat mendapat penolakan dari Pemerintah Italia

Rep: Intan Pratiwi/ Red: Nidia Zuraya
Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati
Foto: Antara/Galih Pradipta
Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- PT Pertamina (Persero) batal menggandeng perusahaan migas asal italia, ENI, untuk membangun green refinery. Hal ini dikarenakan pihak ENI mendapat teguran dari pemerintah Italia yang melarang perusahaan tersebut memakai CPO Indonesia.

Direktur Utama Pertamina, Nicke Widyawati menjelaskan awalnya perusahaan akan menggandeng ENI untuk membangun green refinery, sayangnya saat tahap uji coba penggunaan CPO di kilang ENI di Italia mendapat teguran dari pemerintah Italia. Pemerintah Italia bersikukuh bahwa penggunaan CPO perlu mendapatkan sertifikat khusus.

Baca Juga

Salah satu sertifikat penting yang biasanya harus dimiliki badan usaha yang penggunaan kelapa sawit untuk green refinery adalah CPO yang digunakan harus memperoleh International Sustainability and Carbon Certification (ISCC).

"Awalnya kerja sama dengan ENI untuk mitigasi teknis. Tapi ada penolakan CPO di Eropa karena harus terapkan sertifikasi internasional ENI jadi maju mundur. Jadi, nggak jadi co-processing di fasilitas ENI di Milan," kata Nicke di Komisi VII DPR RI, Rabu (29/1).

Teguran dari pemerintah Italia kemudian direspon dengan mengubah rencana lokasi pengujian. ENI kata Nicke akhirnya sepakat untuk langsung dilakukan pembangunan fasilitas pengolahan CPO menjadi green diesel di wilayah kilang Plaju.

"Jadi langsung bangun di Plaju. Tapi ENI dapat teguran dari pemerintahnya (Italia), walaupun investasi di indonesia tapi tetap dilawan juga. Padahal logikanya kebun di indonesia jadi aspek lingkungan kita yang kena, diproses dan digunakan di indonesia, tapi ENI tetapkan itu jadi putus dengan ENI," jelas Nicke.

Sebagai gantinya Pertamina langsung bekerja sama dengan UOP perusahaan asal Amerika Serikat yang telah memiliki sertifikasi teknologi untuk produksi green diesel berbahan baku CPO.

"Kami bangun sendiri dan kerja sama langsung dengan UOP. Dan ENI kemarin kena penalti karena masih pakai CPO Indonesia," ujar Nicke.

Green refinery yang rencananya akan dibangun nanti akan memiliki kapasitas produksi mencapai 1 juta kiloliter (kl) per tahun. Dengan kapasitas pengolahan CPO mencapai 20 ribu barel per hari. Untuk satu unit kilang.

"Kapasitas olah CPO 20 ribu barel per hari (bph) tapi nanti ditambahkan aja kalau mau jadi 80 ribu bph. 20 ribu jadi 1 juta kl (green diesel) per tahun di 2024 beroperasi," kata Nicke.

Pertamina sebelumnya telah menandatangani Head of Joint Venture Agreement untuk pengembangan green refinery di Indonesia serta Term Sheet CPO processing di Italia pada Januari 2019 lalu. Kesepakatan ini merupakan lanjutan dari nota kesepahaman kerjasama yang telah ditandatangani Pertamina dengan ENI pada September 2018 serta penandatangan kesepakatan lanjutan pada Desember 2018.

CPO Processing Agreement  mengawali upaya Pertamina untuk melakukan pemrosesan CPO di kilang Eni di Italia yang sudah berpengalaman sejak 2014 untuk menghasilkan HVO (Hydrotreated Vegetable Oil) yang bisa digunakan sebagai campuran bahan bakar mesin diesel.

Dalam kerja sama tersebut ENI akan memasok green diesel ke Pertamina sambil menunggu penyelesaian pengembangan green refinery. Sementara CPO nya dipasok dari Indonesia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement