REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS mengalami penguatan sejak awal tahun. Kurs Tengah Bank Indonesia mencatar, nilai rupiah pada Rabu (22/1) dihargai Rp 13.678 per dolar AS, lebih kuat dibanding rata-rata tahun 2019 yang bertengger di atas Rp 14.000 per dolar AS. Institute for Development of Economic and Finance (Indef) menilai, penguatan itu justru harus diwaspadai.
Wakil Direktur Indef, Eko Listiyanto menyatakan, rupiah yang hari ini dirasa menguat menjadi klaim pemerintah terhadap perbaikan ekonomi Indonesia. Padahal, kata Eko, penguatan rupiah tidak sepenuhnya menggambarkan situasi yang sebenarnya.
"Jangan-jangan justru bukan penguatan yang terjadi. Rupiah itu kalau naik (menguat) cepat, turun (melemah) juga cepat," kata Eko dalam sebuah diskusi di Jakarta, Rabu (22/1).
Ia menjelaskan, penguatan rupiah yang terjadi saat ini terindikasi dari masuknya hot money ke instrumen pasar uang, khususnya Surat Berharga Negara (SBN) yang diterbitkan pemerintah pada tahun lalu. Eko mengatakan, sepanjang 2018, total capital inflow ke Indonesia sangat rendah, yakni hanya Rp 14,39 triliun.
Memasuki 2019, capital inflow meningkat 16 kali lipat menjadi Rp 224 triliun. Hanya saja, 75 persen dari capital inflow tersebut masuk ke SBN. Dengan kata lain, dana asing masuk untuk membeli SBN pemerintah yang diterbitkan untuk mendapatkan pembiayaan utang.
"Kenapa penjualan SBN jadi besar? karena target penerimaan pajak tidak tercapai sehingga menambah utang. Utang yang ditarget 1,8 persen terhadap PDB jebol menjadi 2,2 persen. Utang riil juga naik, dari Rp 269 triliun menjadi Rp 353 triliun," kata Eko menjelaskan.
Karenanya, kata Eko, menjadi logis jika dana asing yang masuk dalam jumlah besar ke instrumen SBN menyebabkan rupiah menguat. "Bukan dari ekspor dan impor. Jadi hot money saat ini lagi hot hot-nya. Saya khawatir, ketika rupiah menguat kita tidak berbuat apa-apa karena begitu rupiah anjlok, efeknya ke semua," ujarnya.