Kamis 09 Jan 2020 18:10 WIB

Bank Dunia Ingatkan Dampak Gelombang Utang Negara Berkembang

Bank Dunia mencatat, utang global mencapai rekor tertinggi, yaitu 230 persen dari PDB

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Friska Yolanda
Bank Dunia
Bank Dunia

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Bank Dunia memperingatkan dampak ‘gelombang’ akumulasi utang yang terus meningkat selama lima dekade terakhir. Terutama bagi pasar dan negara berkembang yang mengalami kenaikan secara signifikan dalam menarik utang. 

Bank Dunia mencatat, utang global mencapai rekor tertinggi, yaitu sekitar 230 persen dari Produk Domestik Global (PDB) pada 2018. Sementara itu, pasar dan negara berkembang mencapai nilai tertinggi sepanjang masa, hampir 170 persen dari PDB. Nilai ini meningkat 54 poin persentase terhadap PDB sejak 2010. 

Baca Juga

Ada tiga gelombang historis akumulasi utang, yaitu 1970-1989, 1990-2001 dan 2002-2009. Gelombang keempat berlangsung sejak 2010 hingga saat ini. 

Penumpukan utang di pasar dan negara berkembang pada gelombang keempat terjadi lebih besar, cepat dengan basis yang lebih luas dibandingkan tiga gelombang sebelumnya. 

Lead Economic Forester dari Bank Dunia, Ayhan Kose, mengatakan bahwa gelombang akumulasi utang biasanya berakhir tidak bahagia. Tren ini berdasarkan pengalaman masa lalu. 

"Di dalam lingkungan global yang sedang rapuh, peningkatan kebijakan sangat diperlukan untuk meminimalisasi risiko akibat gelombang utang yang sedang terjadi," ucap Kose seperti dilansir di situs resmi Bank Dunia, Kamis (9/1). 

Bank Dunia juga mengaitkan gelombang utang global ini dengan krisis. Krisis lebih mungkin terjadi, atau tekanan ekonomi yang ditimbulkannya lebih besar di negara-negara dengan penumpukan utang lebih cepat, utang luar negeri lebih tinggi dan cadangan lebih rendah.  Apalagi, banyak negara berkembang memiliki kombinasi kebijakan ekonomi makro yang tidak berkelanjutan.

Bank Dunia menganjurkan empat poin kepada negara berkembang untuk menghadapi situasi ini. Pertama, manajemen utang yang baik dan transparansi utang. Kebijakan ini dapat membantu mengurangi biaya pinjaman, meningkatkan kesinambungan utang, dan mengandung risiko fiskal. 

Kedua, kerangka kerja moneter, nilai tukar, dan kebijakan fiskal yang kuat dapat menjaga ketahanan pasar dan negara berkembang dalam lingkungan ekonomi global yang rapuh.  

Ketiga, regulasi dan pengawasan sektor keuangan yang kuat. Hal ini dapat membantu mengenali dan menindaklanjuti risiko yang muncul. 

Keempat, manajemen keuangan publik yang efektif dan kebijakan yang mempromosikan tata kelola perusahaan yang baik dapat membantu memastikan bahwa utang digunakan secara produktif.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement