REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penerimaan pajak sepanjang 2019 tidak mencapai target. Realisasi per akhir Desember tercatat mencapai Rp 1.332,1 triliun atau 84,4 persen dari target di Undang-Undang APBN 2019, yaitu Rp 1.577,6 triliun. Artinya, terjadi kekurangan (shortfall) sebesar Rp 245 triliun.
Persentase penerimaan pajak tersebut mengalami penurunan dibandingkan 2018. Saat itu, pendapatan negara dari penerimaan pajak yang sudah diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyentuh Rp 1.313 triliun atau 92,2 persen dari target semula, Rp 1.424 triliun.
Dari sisi pertumbuhan pun, penerimaan pajak sepanjang 2019 melambat. Dari semula 14,1 persen pada 2018 menjadi hanya 1,4 persen pada 2019.
Meski mengalami perlambatan, Menteri Keuangan Sri Mulyani tetap mengapresiasi pertumbuhan tersebut. "Kita tetap dapat tumbuh 1,43 persen di tengah tekanan perlambatan ekonomi," ujarnya dalam konferensi pers pemaparan kinerja APBN 2019 di kantornya, Jakarta, Selasa (7/1).
Kinerja paling lambat terlihat dari penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) migas. Pada 2018, PPh migas dapat tumbuh 28,6 persen menjadi Rp 64,7 triliun. Sedangkan, sepanjang 2019, nilainya hanya Rp 59,1 triliun atau mengalami kontraksi 8,7 persen.
Sri menuturkan, kinerja yang tidak maksimal dari penerimaan migas dikarenakan ada tiga faktor. Pertama, lifting minyak dan gas yang tidak mencapai target. Dalam asumsi makro APBN 2019, keduanya ditetapkan masing-masing 775 ribu barel per hari dan 1255 juta barel setara minyak per hari. Tapi, realisasi sampai dengan Desember adalah hanya 741 ribu barel per hari untuk minyak dan 1,05 juta barel setara minyak per hari untuk gas.
Faktor kedua, harga minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude Price/ ICP) yang menurun. Dalam UU APBN 2019, pemerintah menetapkan harga Rp 70 dolar AS per barel yang ternyata hanya menyentuh 62 dolar AS per barel dalam realisasinya per akhir Desember 2019.
Pergerakan harga minyak tahun 2019 tersebut terutama dipengaruhi oleh turunnya permintaan minyak dunia dan isu geopolitik. Selain itu, ada perpanjangan pembatalan produksi OPEC di tengah penambahan produksi oleh Amerika dan Rusia.
Terakhir, Sri mengatakan, nilai tukar rupiah yang menguat. Dalam catatan terakhir Kemenkeu, kursnya adalah Rp 14.146 per dolar AS yang di bawah asumsi makro, Rp 15 ribu per dolar AS. "Tiga faktor ini yang menyebabkan penerimaan migas tertekan," katanya.
Tidak hanya migas, tekanan juga terjadi pada PPh non migas. Sepanjang 2019, pemerintah mampu mengumpulkan PPh nonmigas Rp 711,2 triliun atau 85,9 persen dari target, Rp 828,3 triliun. Secara persentase, angka tersebut lebih tinggi dibandingkan pencapaian 2018, yaitu Rp 685,3 triliun atau 83,9 persen dari APBN 2018.
Meski naik, pertumbuhan PPh non migas pada 2019 melambat dari 14,9 persen menjadi 3,8 persen. "Artinya, sektor non migas juga mengalami perlemahan dari aktivitas ekonomi," tutur Sri.
Sri berharap, kondisi tersebut dapat membaik pada tahun ini dengan berbagai kebijakan pendukung. Salah satunya melalui perluasan basis tax holiday/allowance dari semula hanya melibatkan sembilan industri pionir menjadi 18 industri pionir. Selain itu, adanya perluasan treshold penerima fasilitas minimum investasi menjadi minimal Rp 100 miliar.
Kebijakan juga diarahkan ke UMKM dengan menurunkan pajak UMKM dari satu persen menjadi 0,5 persen. Di sisi lain, melakukan akselerasi restitusi pajak guna mendorong pertumbuhan UMKM. Tidak kalah penting, Sri mengatakan, pemerintah memberikan insentif super deduction tax untuk kegiatan penelitian dan pengembangan serta pelatihan vokasional.
Secara keseluruhan, total pendapatan negara sepanjang 2019 adalah Rp 1.957 triliun atau 90,4 persen dari target APBN, Rp 2.165 triliun. Angka ini tumbuh 0,7 persen dibandingkan tahun sebelumnya, Rp 1.943,7 triliun. Meski naik, pertumbuhannya melambat dari 16,6 triliun pada 2018.
Dari total Rp 1.957 triliun, sebanyak Rp 1.545 triliun di antaranya berasal dari penerimaan perpajakan. Sementara itu Rp 405 triliun berasal dari penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dan sisanya, Rp 6,8 triliun dari hibah.