REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menuturkan, pemerintah akan memberikan kemudahan pengusaha mendapatkan sertifikasi halal. Kebijakan ini sudah masuk dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law terkait pengembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM).
Ketika RUU Omnibus Law sudah diresmikan, Airlangga menjelaskan, UMKM dapat mengembangkan usaha mereka dalam bentuk Perseroan Terbatas (PT) dengan bermodalkan Nomor Induk Kependudukan (NIK). "Pendaftaran ini berlaku juga untuk sertifikasi halal," ujarnya dalam Kadin Talks di Gedung Kadin, Jakarta, Rabu (18/12).
Selain memudahkan UMKM, Airlangga menambahkan, ketentuan tersebut juga diberlakukan untuk mengimplementasikan single data. Nantinya, keberadaan UMKM akan lebih mudah dicek.
Airlangga menuturkan, batasan minimum modal untuk UMKM yang ingin mendaftar PT pun akan disesuaikan. Sebelumnya, dalam Pasal 32 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT), ditentukan bahwa modal dasar Perseroan paling sedikit Rp 50 juta.
Meski tidak menyebutkan batasan minimal baru dalam RUU Omnibus Law, Airlangga memastikan, nominal yang ditentukan pemerintah akan menguntungkan UMKM. "Modalnya terserah dia (pengusaha)," tutur mantan menteri perindustrian tersebut.
Secara umum, kebijakan ini dilakukan untuk melakukan restrukturisasi pada ekosistem memulai berusaha. Dari semula berbasis perizinan, nantinya pemerintah akan menekankan pada basis risiko.
Regulasi teknis yang mengatur ketentuan mekanisme dan biaya sertifikasi halal masih belum dirilis. Produk hukum ini sepatutnya menjadi turunan dari Undang-Undang (UU) Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH).
Saat ini, produk hukum yang baru dirilis adalah Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 26 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal (JPH). Produk ini hanya menggambarkan proses sertifikasi secara umum.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Perbendaharaan Kementerian Keuangan Andin Hadiyanto menyebutkan, regulasi dalam bentuk Peraturan Menteri Keuangan (PMK) tarif JPH sedang dalam proses sinkronisasi dengan produk hukum lain. "Kami juga masih koordinasi dengan beberapa kementerian," tuturnya saat dihubungi Republika.co.id, Rabu (27/11).
Beleid tersebut sudah ada dalam bentuk Rancangan PMK (RPMK). Andin mengatakan, regulasi ini dirumuskan untuk memberikan akses dan keberpihakan kepada dunia usaha. Khususnya pelaku usaha mikro dan kecil yang kerap mengalami kesulitan dalam pembiayaan sertifikasi.
Sembari menunggu PMK dirilis, Andin mengatakan, proses sertifikasi halal kini masih dapat terus dilayani dengan menggunakan tarif eksisting. Ketentuan ini sesuai dengan yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2019 tentang JPH.