Senin 16 Dec 2019 08:42 WIB

Keuangan Berkelanjutan Belum Jadi Mitigasi Risiko Perbankan

Implementasi keuangan berkelanjutan baru sebatas sistem pelaporan dan produk.

Rep: Novita Intan/ Red: Friska Yolanda
Kredit bank (ilustrasi)
Foto: Tim Infografis Republika
Kredit bank (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) masih memiliki pekerjaan rumah untuk memastikan bahwa arah kebijakan keuangan berkelanjutan di Indonesia. Sebab saat ini terjadi pergeseran pada integrasi manajemen risiko dan tata kelola perusahaan yang baik dalam praktik bisnis Lembaga Jasa Keuangan (LJK). 

Koordinator Responsi Bank Indonesia Dia Mawesti mengatakan implementasi Roadmap Keuangan Berkelanjutan di Indonesia telah berjalan selama lima tahun. Namun saat ini, aturan mengenai implementasi keuangan berkelanjutan di Indonesia baru sebatas membangun sistem pelaporan, peningkatan kapasitas pelaku industri jasa keuangan, koordinasi antar instansi, serta pengembangan produk berkelanjutan. 

Baca Juga

“Ini menunjukkan bahwa praktik keuangan berkelanjutan di Indonesia masih belum menjadi bagian dari manajemen risiko perbankan. Kebijakan keuangan berkelanjutan belum menyentuh hal substantif sehingga tidak bisa mengukur dampak pembiayaan terhadap risiko lingkungan, sosial, dan tata kelola,” ujarnya dalam keterangan tulis, Senin (16/12).

Penerapan manajemen risiko pembiayaan sesuai dengan prinsip keuangan berkelanjutan sangat krusial untuk memitigasi dampak negatif bisnis seperti kerusakan lingkungan, polusi dan limbah, konflik lahan, ancaman terhadap kesehatan dan keamanan, pelanggaran HAM dan hak pekerja, serta hilangnya mata pencaharian masyarakat lokal.

Senada dengan hal ini, Laporan Pemeringkatan Bank yang dilakukan Koalisi Responsi Bank Indonesia menemukan bahwa bank di Indonesia masih belum memiliki kebijakan kredit dan investasi yang spesifik pada sektor usaha berisiko tinggi terhadap lingkungan dan sosial. Padahal bank turut mengambil andil besar untuk menerapkan safeguard policy dalam penyaluran kredit dan pembiayaan. Tak hanya untuk menghindari risiko sosial dan lingkungan, melainkan juga untuk menghindari risiko finansial gagal bayar akibat praktik bisnis yang tidak berkelanjutan.

“Identifikasi sektor-sektor berisiko tinggi mutlak dilakukan untuk menjamin perbankan tidak membiayai sektor yang tidak berkelanjutan,” kata dia. 

Oleh karena itu, dia berpendapat OJK perlu meningkatkan standar dan kriteria penyaluran pembiayaan terutama sektor berisiko tinggi pada Peta Jalan Keuangan Berkelanjutan 2020-2025. Di samping itu, pemerintah perlu menciptakan ekosistem yang memungkinkan sektor keuangan di Indonesia berlomba menjadi yang terbaik.

“Bank harus bisa dibuat race to the top dalam implementasi keuangan berkelanjutan,” ucapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement