REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Nailul Huda mengatakan, keberadaan Peraturan Pemerintah (PP) 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) menimbulkan kemirisan tersendiri. Sebab, regulasi ini terbilang kontras dengan rencana Omnibus Law untuk investasi dan kemudahan berusaha.
Huda menjelaskan, pemerintah kini gencar membuat ekosistem untuk memulai berusaha yang kondusif kepada dunia usaha. Tapi, keberadaan PP Nomor 80 Tahun 2019 berpotensi menambah beban kepada pengusaha yang ingin memulai usahanya di platform digital.
"Yang namanya pengaturan, pasti akan ada administration cost bagi pelaku usaha," ujarnya dalam diskusi online Indef, Senin (9/12).
Dengan kondisi yang kontras ini, Huda menyebutkan, muncul pertanyaan baru. Ketika Omnibus Law tentang kemudahan berusaha muncul, apakah PP Nomor 80 Tahun 2019 masih berlaku?
Huda mengakui, keberadaan PP Nomor 80 Tahun 2019 penting untuk menciptakan level of playing field yang sama antara penjual online dengan offline di tengah pesatnya pertumbuhan pasar online di Indonesia. Dibandingkan Filipina, India dan Cina, pertumbuhan transaksi online di Indonesia bahkan berjalan dengan sangat cepat.
Kontribusi pasar online Indonesia terhadap perdagangan pun semakin membesar. Pada 2013, kontribusinya hanya 0,50 persen yang tumbuh signifikan menjadi 4,40 persen pada tahun ini.
"Meski masih di bawah lima persen, peningkatan ini patut diperhatikan," ucap Huda.
Ke depannya, penjualan transaksi online juga diprediksi masih sangat besar. Indef memperkirakan, penjualan melalui daring akan mencapai 11,32 miliar dolar AS atau setara Rp 154 triliun pada 2021. Faktor utamanya, pertumbuhan kelas menengah di Indonesia yang diprediksi terus meningkat hingga beberapa tahun ke depan.
Hanya saja, Huda menekankan, masih ada beberapa poin yang harus diperjelas pemerintah mengenai PP Nomor 80 Tahun 2019 agar tidak bertabrakan dengan Omnibus Law. Salah satunya, model bisnis dalam PMSE.
PP Nomor 80 Tahun 2019 hanya mengatur model Business to Business dan Business to Consumer. Di sisi lain, model Customer to Customer yang justru kini semakin meningkat belum dapat diatur.
"Salah satunya, forum jual beli kasus yang biasanya ada istilah cash on delivery untuk bertransaksi," kata Huda.
Penjelasan kedua ditekankan pada klasifikasi pelaku usaha. Huda mengatakan, jenis pelaku usaha di e-commerce ada empat kategori umum yakni toko resmi, toko besar, toko pengecer dan pelaku usaha individu. Tiga jenis pelaku pertama mungkin mudah untuk menjadikan dirinya badan usaha, namun tidak dengan pelaku usaha individu.
Dalam PP Nomor 80 Tahun 2019 Huda menjelaskan, pelaku usaha individu tetap diwajibkan terdaftar sebagai badan usaha. Ia mempertanyakan kemungkinan kewajiban ini. "Apakah pengusaha yang statusnya masih pelajar atau emak-emak yang menjadikan bisnis di e-commerce sebagai sampingan mungkin untuk jadi badan usaha," ucapnya.
Poin ketiga yang harus dijelaskan pemerintah adalah pelaku usaha temporer. Banyak penjual di e-commerce yang merupakan penjual individu yang hanya sesekali menjajakan dagangannya secara online. Ini biasanya terjadi pada marketplace dengan spesifikasi khusus barang bekas seperti OLX.
Huda mengatakan, apabila mereka diharuskan berbadan hukum, maka akan sangat berat. "Ini yang harus diperhatikan dan ditegaskan lagi oleh pemerintah," ujarnya.
Sebelumnya, Pemerintah resmi mengatur PMSE juga dikenal e-commerce melalui PP Nomor 80 Tahun 2019 yang diteken Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 20 November dan diundangkan pada 25 November 2019. Pengaturan perdagangan pada umumnya telah diatur dalam regulasi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan. Hanya saja, PMSE belum diatur secara mendetail. Oleh karena itu, PP Nomor 80 Tahun 2019 diterbitkan demi terselenggaranya sistem perdagangan yang adil dan terpercaya serta melindungi kepentingan konsumen.