REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pembangunan Infrastruktur khususnya yang sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) menjadi prioritas pemerintah dalam empat tahun ke depan. Indonesia setidaknya membutuhkan dana sebesar Rp6000 triliun untuk merealisasikan pembangunan tersebut.
Namun, dari total kebutuhan pembiayaan infrastruktur, pemerintah hanya mampu memenuhinya sekitar 37 persen yang diambil dari APBN 2020. Untuk itu, dibutuhkan keterlibatan berbagai sektor untuk bisa menangkap peluang pembiayaan proyek-proyek strategis yang dijalankan ke depan.
"Infrastuktur selalu ada dua sisi, proyek yang akan dikembangkan, dibangun dan jalankan. Tapi juga bagaimana biayanya," ujar Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu, Luky Alfirman, di Gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Selasa (3/12).
Untuk mendukung pembangunan infrastruktur dari sisi pembiayaan, Luky mengatakan, pemerintah mendorong pendanaan infrastruktur berkelanjutan melalui pasar modal dan asuransi. Di pasar modal, lanjut Luky, sumber pendanaan bisa didapatkan dari berbagai instrumen seperti surat utang.
Menurut Luky, instrumen surat utang sangat cocok untuk sumber pembiayaan infrastruktur karena bersifat jangka panjang. Selain itu ada pula Dana Investasi Infrastruktur (Dinfra) yang bisa digunakan untuk menghimpun dana investor untuk diinvestasikan pada aset infrastruktur.
Luky mengakui baik penetrasi terhadap pasar modal maupu asuransi hingga saat ini masih sangat rendah. Untuk itu, dibutuhkan program edukasi yang bisa meningkatkan kesadaran orang untuk berinvestasi dan berasuransi.
"Dengan makin banyak dana tersedia itu akan makin banyak juga dana untuk membangun pembangunan Indonesia termasuk infrastruktur," tutup Luky.