REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Himpunan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) mengakui bisnis ritel masih mengalami kelesuan hingga saat ini. Hal tersebut khususnya dirasakan oleh sektor Fast Moving Consumer Goods (FMCG).
"Semua channel FMCG mengalami masa sulit selama tiga tahun rerakhir," kata staff ahli Hippindo, Yongki Susilo kepada Republika, Ahad (1/12).
Secara umum, menurut Yongki, penurunan pertumbuhan masih dialami oleh ritel besar seperti supermarket. Meski pada 2018 kondisinya sempat membaik, ritel supermarket hanya bisa tumbuh stagnan.
Bahkan ditahun ini, ritel supermarket mengalami penurunan pertumbuhan dari Q1 ke Q3. Sedangkan hypermarket dan toko tradisional kondisinya terus memburuk. Demikian pula ritel gaya hidup yang permintaan pasarnya terus melemah, hanya 4,4 persen saja pada Q3 tahun ini berdasarkan data (BPS).
Tren pertumbuhan yang membaik hanya ditunjukkan oleh ritel mini market. Yongki melihat, masih lesunya pertumbuhan bisnis ritel ini lantaran dipengaruhi kondisi perekonomian dalam negeri yang belum membaik.
Kendati demikian, Yongki optimistis, saat kondisi perekonomian mulai normal membaik, permintaan pasar akan kembali tinggi. "Kelas menengah atas masih hati-hati belanja karena situasi ekonomi belum pick up," tutur Yongki.
Yongki melihat potensi bisnis ritel di Indonesia masih sangat besar untuk sektor FMCG dan gaya hidup. Menurut Yongki, pasar terbesar ritel berasal dari kalangan kelas menengah ke bawah. Namun, saat ini daya beli kalangan tersebut masih terbatas.
Yongki sendiri menyangkal lesunya pertumbuhan bisnis ritel disebabkan peralihan tren belanja masyarakat ke e-commerce. "E-commerce itu bukan alasan. Tidak benar. E-commerce FMCG hanya 1 persen, sedangkan e-commerce ritel total masih dibawah 2 persen," terang Yongki.
Sekarang, menurut Yongki pelaku usaha ritel masih cukup berhati-hati dalam mengambil langkah bisnis. Untuk bisa bertahan di tengah kondisi ekonomi yang kurang baik ini, Yongki menyarankan, pelaku usaha ritel sebaiknya lebih fokus memberikan layanan berbasis pada kepuasan konsumer.
"Kalau targetnya menengah ke atas, undang mereka, show the product and service di depan mata, buat yang heboh, tutur Yongki.
Sebagai informasi, pada Q3 tahun ini sejumlah emiten ritel mengalami penurunan laba. Salah satunya dialami oleh PT Hero Supermarket Tbk.
Berdasarkan keterbukaan informasi di Bursa Efek Indonesia (BEI), pendapatan perusahaan dengan kode emiten HERO ini turun 3,7 persen menjadi Rp9,48 triliun pada Q3 2019. Di periode yang sama tahun lalu, HERO mencatatkan pendapatan sebesar Rp 9,84 triliun.
Sementara itu, beban penjualan meningkat menjadi Rp2,87 triliun dari periode tahun lalu Rp 2,85 triliun. Selain HERO, emiten ritel yang juga mengalami penurunan pertumbuhan yaitu PT Matahari Department Store Tbk (LPPF).
Pada Q3 2019, LPPF mencatatkan laba bersih sebesar Rp 1,18 triliun. Perolehan ini turun sekitar 20,7 persen dari laba di periode yang sama tahun lalu sebesar Rp 1,49 triliun.
Sementara itu, beban pokok pendapatan pada Q3 tahun ini tercatat sebesar Rp 3,08 triliun atau naik 6,2 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar Rp 2,89 triliun.
Kendati demikian, tidak semua pelaku ritel mengalami penurunan pertumbuhan. PT Ace Hardware Indonesia Tbk mengalami pertumbuhan laba sebesar Rp 732,71 miliar pada Q3 tahun ini dari Rp704,02 miliar pada periode yang sama tahun lalu.
Sedangkan PT Mitra Adiperkasa berhasil mencatatkan laba sebesar Rp 812,91 miliar pada Q3 tahun ini, naik dari Rp588,14 miliar dibandingkan periode yang sama tahun lalu.