REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anjloknya harga ayam hidup (live bird) menyebabkan sejumlah peternak ayam di Tanah Air mengalami kerugian. Secara nasional, kerugian mencapai triliunan rupiah.
"Tahun ini nyungsep. Kerugian di internal peternakan saya di Bandung saja sudah mencapai Rp 50 miliar. Kalau nasional sudah triliunan," ujar Wakil Sekjen I Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat (Pinsar) Muhlis Wahyudi saat ditemui usai menggelar aksi damai di depan Gedung Kementerian Perdagangan (Kemendag) di Jakarta, Rabu, (27/11).
Kerugian tersebut, kata dia, disebabkan belum adanya perbaikan harga ayam hidup sejak awal tahun. Di Jawa Barat misalnya, harga live bird di kisaran Rp 17 ribu sampai Rp 18 ribu per kilogram (kg). Padahal Harga Pokok Produksi (HPP) saat ini sebesar Rp 18.500 per kg.
Dia menuturkan, pada 31 Januari lalu, Surat Menteri Perdagangan yang menetapkan harga acuan sebesar Rp 20 ribu sampai Rp 22 ribu per kg sudah dikeluarkan. Hanya saja tidak banyak berpengaruh.
"Surat itu berlaku dari 31 Januari 2019 sampai 31 Maret 2019. Realita harganya di Kisaran Rp 17 ribu, Rp 16 ribu, dan Rp 15 ribu per kg. Setalah 31 Maret, kembali ke Permendag 96 Tahun 2019 sampai sekarang," jelas Muhlis.
Permendag Nomor 96 Tahun 2018 mengatur harga acuan ayam hidup per kg sebesar Rp 18 ribu untuk batas bawah. Lalu batas atasnya sebesar Rp 20 ribu.
Penyerapan ayam oleh pengusaha ritel, lanjutnya, turut merusak harga. "Mereka jual ayam frozen (beku) sebesar Rp 26 ribu, tapi ambil di kandang dengan harga Rp 16 ribu paling tinggi Rp 16.500 per kg. Itu merusak harga karena broker-nya sama," tegas dia.
Ia menilai, seharusnya pelaku ritel menjual ayam bekunya sama seperti ayam hidup yakni kisaran Rp 33 ribu sampai Rp 35 ribu per kg. Dengan begitu membeli dari peternak seharga Rp 18.500 per kg, supaya tidak merusak harga.
Perwakilan Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat (Pinsar) Jawa Tengah Parjuni pun mengaku sudah rugi miliaran rupiah akibat rendahnya harga ayam hidup di tingkat peternak. "Saya termasuk yang paling kecil di antara teman-teman peternak lain," ujar
Stok atau produksi yang melimpah, jelas dia, menjadi penyebab harga ayam hidup turun. Maka peternak yang tergabung dalam Paguyuban Peternak Rakyat Nasional (PPRN) meminta pemerintah melakukan pemangkasan 10 juta ekor bibit ayam pada September lalu.
Kemudian pada Oktober, pemusnahan bibit ayam diturunkan menjadi lima juta ekor. Selanjutnya pada November hanya dikurangi dua juta ekor.
"Lebih kecil lagi yang dipangkas. Berarti risiko Desember jauh lebih besar lagi. Kita minta Desember ada pemangkasan lagi sebanyak tujuh juta dan itu sudah di-acc pemerintah, tinggal approve," jelas Parjuni.
Dari sisi hewan ternak, sebetulnya kasihan bila banyak bibit ayam yang dimunaskan. Hanya saja, ia menuturkan, ini harus dilakukan demi menghindari kerugian yang lebih besar.
Ia menambahkan, pemerintah harus mengawasi proses pemangkasan. "Walau sudah ada hitung-hitungan yang mana yang dipangkas, namun pengawasannya seperti apa? Harus dipertanyakan. Lemahnya pemerintah selama ini di pengawasan, kebijakan bagus dibuat tapi implementasinya tidak diawasi," tegasnya.
Parjuni menyebutkan, produksi ayam nasional pada November 2019 sekitar 63 juta sampai 65 juta ekor per minggu. Sementara potensinya masih sebanyak 68 juta per minggu.