REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek)/Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) berencana mengembangkan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) mulai tahun 2020. Deputi Penguatan Riset dan Pengembangan, Muhammad Dimyati mengatakan saat ini masih pada tahap mempersiapkan Rancangan Undang-undang (RUU).
"Terkait PLTN, baru didorong percepatan RUU-nya, untuk segera didaftarkan di Prolegnas 2020 nanti," kata Dimyati kepada Republika melalui pesan singkat, Rabu (20/11).
Dimyati menuturkan, terkait pengembangan PLTN ini Kemenristek/BRIN sudah melakukan komunikasi dengan Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) dan juga Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten). Hal ini dilakukan agar pengembangan PLTN nanti bisa berjalan dengan lancar.
Pada saat ini, ia mengatakan, Kemenristek/BRIN sedang fokus menyiapkan urusan organisasi. Sebab, di dalam kementerian ini kini terdapat badan baru yakni BRIN yang bertugas untuk mengkoordinasi penelitian di Indonesia baik yang dilakukan oleh kementerian dan lembaga, serta perguruan tinggi.
"Kami masih menyiapkan urusan organisasi. Belum sampai ke anggaran. Organisasi ristek dan BRIN," kata dia menjelaskan.
Sebelumnya, Batan mengungkapkan telah memiliki SDM mumpuni dan pengalaman dalam menyiapkan PLTN. Batan menyatakan siap jika sewaktu-waktu diminta memanfaatkan teknologi nuklir untuk pembangkit listrik.
Kepala Bagian Humas Batan, Purnomo mengatakan, Menristek meminta Batan harus siap bila kelak pemerintah menyatakan go nuclear. Terkait hal ini, Batan sudah mempunyai pengalaman dalam penyiapan PLTN, seperti di Jepara dan Kepulauan Bangka. "Jadi, Batan sudah siap," ujar dia.
Purnomo mengatakan, pemerintah menetapkan rencana strategis (renstra), pembangunan PLTN dimulai pada 2020. Kendati demikian, di dalam prioritas riset nasional (PRN) pada rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) memang tidak disebutkan berapa kapasitas sebuah PLTN, tapi tertulis prototipe PLTN skala komersial.