Rabu 20 Nov 2019 15:11 WIB

Ekonom: Pemerintah Harus Akselerasi Belanja Modal

Akselerasi dapat dilakukan terhadap belanja modal prioritas seperti infrastruktur.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Friska Yolanda
Pekerja beraktivitas di area pembangunan infrastruktur, di ruas Jalan Tol Jakarta-Cikampek, di Bekasi, Jawa Barat, Rabu (12/6/2019).
Foto: Antara/Risky Andrianto
Pekerja beraktivitas di area pembangunan infrastruktur, di ruas Jalan Tol Jakarta-Cikampek, di Bekasi, Jawa Barat, Rabu (12/6/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia Akhmad Akbar Susanto menilai, pelaksanaan belanja kementerian/ lembaga (K/L) untuk tahun anggaran 2020 seharusnya dapat dilaksanakan sejak sekarang. Khususnya terhadap belanja modal yang membutuhkan persiapan panjang mengingat harus melalui proses tender dan sebagainya. 

Akbar menyebutkan, kebijakan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menyerahkan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) lebih cepat sebulan dibandingkan tahun lalu sudah baik. Hanya saja, penyerahan sebenarnya dapat dilakukan lebih cepat. 

Baca Juga

"Lebih bagus dari dulu-dulu, tapi masih kurang cepat," ujarnya ketika ditemui usai diskusi CORE Economic Outlook 2020 di Jakarta, Rabu (20/11).

Akbar menuturkan, akselerasi tersebut terutama bisa dilakukan terhadap belanja modal untuk proyek prioritas nasional yang sudah pasti disetujui legislasi dan eksekutif seperti pembangunan infrastruktur. Pasalnya, proses lelang cenderung memakan waktu panjang. Apalagi, semakin besar nilai proyeknya, proses yang dibutuhkan biasanya akan semakin rumit. 

Perhatian lebih khusus kepada belanja modal bukan tanpa sebab. Dari data yang disampaikan Akbar, perbandingan rasio belanja modal terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia masih rendah, yaitu 1,5 persen. Tingkatan ini lebih rendah dibandingkan negara lain seperti Myanmar (2,3 persen) dan Malaysia (3.3 persen). Padahal, belanja modal memiliki efek pengganda lebih tinggi dan berjangka panjang dibandingkan jenis belanja lain seperti barang dan pegawai. 

Sementara itu, berdasarkan data yang dirilis Kementerian Keuangan (Kemenkeu), tingkat penyerapan belanja K/L sampai akhir Oktober 2019 yang baru mencapai 73 persen dengan nominal Ro 633,5 triliun. Tingkat penyerapan terendah terjadi pada belanja modal yang pada periode sama baru mencapai Rp 100,8 triliun atau 53,2 persen dari pagu APBN. 

Kondisi tersebut patut menjadi perhatian pemerintah. Sebab, berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada awal Oktober, kontribusi konsumsi pemerintah adalah 8,36 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). 

"Meski tidak terlalu besar, (konsumsi pemerintah) tetap akan berguna (pada pertumbuhan ekonomi), meskipun pertumbuhan ekonomi tidak hanya berbicara belanja pemerintah," kata Akbar. 

Hanya saja, Akbar menekankan, belanja pemerintah tidak dapat dilakukan secara sembarang. Pemerintah harus memprioritaskan pada belanja-belanja yang memang memiliki efek pengganda. Sebab, kebijakan fiskal tidak sekadar berbicara angka, melainkan bagaimana mereka digunakan atau dibelanjakan untuk memberikan dampak positif ke industri dalam negeri dan ekonomi makro.

Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Askolani memproyeksikan, realisasi belanja K/L sampai akhir tahun akan mencapai 98 persen dari pagu APBN. Selama sisa waktu yang tidak mencapai dua bulan ini, pemerintah akan terus menggenjot belanja untuk bantuan sosial. Selain meningkatkan konsumsi pemerintah, komponen ini juga mampu mendorong pertumbuhan ekonomi ke atas lima persen. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement