Senin 18 Nov 2019 02:32 WIB

Ekonom: Awasi Klasterisasi Peternak Penerima KUR

Klasterisasi KUR jangan dimanfaatkan kelembagaan yang isinya pelaku usaha besar

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Friska Yolanda
Peternak memandikan sapi di salah satu peternakan sapi perah di Tulungagung, Jawa Timur, Jumat (18/10/2019).
Foto: Antara/Zabur Karuru
Peternak memandikan sapi di salah satu peternakan sapi perah di Tulungagung, Jawa Timur, Jumat (18/10/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Rusli Abdullah menuturkan, langkah pemerintah untuk menurunkan suku bunga kredit usaha rakyat (KUR) dari 7 persen menjadi 6 persen sudah tepat. Namun, pengawasan dalam hal klasterisasi penerima KUR harus diperketat agar dapat tepat sasaran. Tak terkecuali, bagi sektor peternakan.

"Klasterisasi itu jangan sampai menjadikan KUR ini hanya dimanfaatkan kelembagaan yang isinya pelaku usaha besar," kata Rusli kepada Republika.co.id.

Sebagaimana diketahui, pemerintah akan membuat konsep klasterisasi agar penyaluran KUR dapat lebih teratur dan efektif. Rusli mengatakan, KUR tanpa agunan dan dengan bunga yang rendah itu harus dapat menjangkau mereka para kelompok peternak skala kecil. Hal itu sejalan dengan langkah pemerintah yang menurunkan suku bunga.

Peran dinas pertanian maupun peternakan di tingkat kota dan kabupaten harus lebih aktif dalam melakukan pendampingan. KUR yang sedianya sudah jauh lebih murah dan efisien tetap harus diimbangi dengan pendampingan bagi penerimanya. Tanpa itu, penggunaan KUR bagi peternak-peternak sapi tradisional akan menjadi masalah.

Meski demikian, menurut Rusli, sektor peternakan lebih unggul dibanding sektor pertanian baik tanaman pangan maupun hortikultura dalam memperoleh KUR. Sebab, kebutuhan daging sapi domestik hingga kini masih kurang dan pemerintah masih memacu peningkatan produksi.

Hanya saja, yang masih menjadi tugas panjang ke depan adalah perubahan pola pikir masyarakat antara mengkonsumsi daging sapi beku dan yang baru dipotong. Saat ini, pengembangan pasca panen pada komoditas daging sapi terbentur akibat persoalan budaya. Sebab, masyarakat Indonesia lebih mengutamakan daging sapi segar ketimbang daging sapi yang telah dibekukan.

"Saya kira kalau budaya ini terjadi akan sangat bagus bagi bisnis peternakan ke depan," kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement