Jumat 15 Nov 2019 22:38 WIB

UMK Tinggi, Industri Sepatu Banten Relokasi Pabrik ke Jateng

Pemindahan pabrik karena pengusaha tak mampu bertahan dengan tingginya UMK dan UMSK.

Pekerja memeriksa kondisi sepatu kulit. Industri sepatu di Banten memindahkan pabrik karena tingginya tuntutan UMK di provinsi tersebut. (ilustrasi)
Foto: Antara/ M. Agung Rajasa
Pekerja memeriksa kondisi sepatu kulit. Industri sepatu di Banten memindahkan pabrik karena tingginya tuntutan UMK di provinsi tersebut. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Firman Bakri Anom menyampaikan bahwa sejumlah industri sepatu di Banten melakukan proses relokasi pabrik di beberapa daerah di Jawa Tengah. Ini dilakukan dengan alasan tidak mampu bertahan karena tingginya Upah Minimum Kabupaten (UMK) dan kewajiban membayar Upah Minimum Sektoral (UMSK).

“Banten dirasa sudah kurang kompetitif, salah satu yang memberatkan adalah UMK plus UMSK, di mana untuk alas kaki di Banten itu, selain kita diminta memenuhi UMK, kita ditambah lagi beban UMSK yang jumlahnya variatif Rp 50ribu-Rp 100 ribu per orang per bulan. Bayangkan kalau ada 50 ribu pekerja,” kata Firman dihubungi di Jakarta, Kamis (14/11).

Baca Juga

Firman memaparkan industri sepatu di Banten harus membayar Rp 4,1 juta per orang per bulan untuk memenuhi kewajiban UMK dan UMSK. Sementara di Jawa Tengah, UMK saat ini masih di bawah Rp 2 juta per bulan.

“Jadi, saat ini sudah ada 25 pabrik yang mulai investasi di Jawa Tengah dan sebagian besar ini berasal dari Banten. Mereka menanamkan investasinya ke berbagai daerah seperti Majalengka, Cirebon, Brebes, hingga Temanggung dan Salatiga,” ungkap Firman.

Dengan demikian, pabrik-pabrik tersebut memasuki masa transisi, di mana pabrik di Jawa Tengah mulai melakukan perekrutan 1.000-2.000 pekerja pada tahap awal, sementara pabrik di Banten mulai dikurangi jumlah karyawannya.

Selagi melakukan perekrutan pekerja di Jawa Tengah, Firman menyampaikan bahwa pabrik-pabrik tersebut juga tengah melihat kondisi usaha di Banten. “Kalau memang semakin tidak menguntungkan, ya proses utamanya di Banten akan digeser ke Jawa Tengah dan yang di Banten semakin lama semakin kecil. Karena relokasi ini membuat kapasitas produksi pabrik tetap,” tukas Firman.

Firman meyakini relokasi yang dilakukan dapat membuat industri alas kaki semakin lebih efisien, sehingga ongkos produksi bisa dipangkas, yang pada akhirnya harga produk yang dihasilkan bisa turun dan lebih kompetitif.

Kendati demikian, pelaku industri juga masih menghadapi beberapa kendala di Jawa Tengah, di antaranya adalah soal ketersediaan tenaga kerja yang terampil, sehingga perusahaan masih perlu memberi pelatihan keterampilan hingga melatih untuk beradaptasi dengan kultur perusahaan untuk para calon pekerja.

“Tetapi, terlepas dari tantangan itu, anggota-anggota kita masih melihat tidak ada cara lain untuk bisa survive selain efisiensi. Salah satu efisiensi yang paling bisa diraih adalah relokasi mencari beban SDM yang lebih kompetitif,” ungkapnya.

Firman menyampaikan bahwa industri alas kaki Indonesia yang padat karya telah menjadi bagian dari rantai pasok global, sehingga mau tidak mau harus bersaing secara global.

Pesaing Indonesia saat ini adalah Vietnam, China, dan Kamboja, yang mulai menunjukkan eksistensinya saat ini. Untuk itu, lanjut Firman, industri alas kaki nasional perlu melakukan efisiensi untuk tetap mempertahankan daya saingnya.

sumber : antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement