Kamis 07 Nov 2019 06:43 WIB

Jokowi Ingin Negosiasi GSP dengan AS Rampung Desember

80 persen konten negosiasi sudah rampung.

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Esthi Maharani
Presiden Jokowi menerima Menteri Perdagangan Amerika Serikat (AS) Wilbur Ross di Istana Merdeka, Rabu (6/11).
Foto: Republika/Sapto Andika Candra
Presiden Jokowi menerima Menteri Perdagangan Amerika Serikat (AS) Wilbur Ross di Istana Merdeka, Rabu (6/11).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Joko Widodo (Jokowi) menerima kunjungan Menteri Perdagangan Amerika Serikat (Mendag AS), Wilbur Ross, di Istana Merdeka (6/11) sore. Sejumlah topik dibahas, termasuk kelanjutan negosiasi generalized system of preferences (GSP) atau fasilitas pembebasan bea masuk oleh AS.

Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi, menjelaskan bahwa kedua pihak berkomitmen untuk merampungkan pembahasan GSP pada Desember 2019. Awal Desember nanti, Indonesia akan mengirim tim negosiator ke AS untuk membahas hal ini.

"Dari apa yang disampaikan oleh Secretary Ross kita optimis bahwa isu yang terkait dengan fasilitas GSP ini akan selesai dengan baik, dengan win-win," ujar Retno usai mendampingi Jokowi dalam pertemuan dengan Mendag AS, Rabu (6/11).

Kelanjutan penerapan kebijakan GSP bagi Indonesia, ujar Retno, diharapkan mampu meningkatkan nilai perdagangan dengan AS menjadi 60 miliar dolar AS dalam lima tahun mendatang. Saat ini, nilai perdagangan antara AS dan Indonesia tercatat sekitar 30 miliar dolar AS.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menambahkan, negosiasi GSP menyisakan finalisasi daftar komoditas. Untuk hal ini pun, ujar Airlangga, tim yang dikirim pada awal Desember nanti ditargetkan mampu menyelesaikan tugas sebelum Natal 2019.

Selain itu, Airlangga menegaskan bahwa 80 persen konten negosiasi GSP sudah rampung. Menurutnya, 20 persen bagian negosiasi yang belum final berkaitan dengan kebijakan-kebijakan pemerintah Indonesia yang nanti akan masuk dalam omnibus law investasi.

Sebelumnya, masih ada sejumlah hal yang menjadi ganjalan negosisasi perundingan GSP dengan AS. Misalnya, praktik pemberlakuan Gerbang Pembayaran Nasional (GSP) yang mempersempit ruang transaksi Visa dan Mastercard di Indonesia. Kemudian ada niat pemerintah untuk mewajibkan seluruh entitas Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) membuat pusat datanya di dalam negeri.

Terkait kebijakan GPN, Airlangga menyebutkan bahwa hal ini masih digodok. Pemerintah, ujarnya, masih harus membahasnya dengan Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Sementara itu soal kebijakan pendirian pusat data, Airlangga menyebut bahwa pemerintah akhirnya memberi kelonggaran melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem Transaksi Elektronik, pengganti PP Nomor 82 Tahun 2012. Aturan baru ini mengizinkan pusat data atau data center untuk data-data tertentu berada di luar negeri.

"PP nya sudah ada, tinggal kita implementasi law-nya di OJK dan BI," kata Airlangga.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement