Sabtu 02 Nov 2019 13:08 WIB

Satu Data Beras Melalui BPS

Kesamaan data antarkemementerian dan lembaga sangat vital untuk menentukan kebijakan.

Rep: Muhammad Nursyamsi/Dedy Darmawan Nasution/ Red: Friska Yolanda
Pekerja memanggul karung beras Bulog untuk dipindahkan kedalam mobil box di Gudang Bulog Kelapa Gading, Jakarta, Jumat (18/10/2019).
Foto: Antara/Nova Wahyudi
Pekerja memanggul karung beras Bulog untuk dipindahkan kedalam mobil box di Gudang Bulog Kelapa Gading, Jakarta, Jumat (18/10/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perbedaan data pangan kerap menjadi persoalan yang terus terjadi selama ini. Polemik perbedaan data memicu perdebatan lantaran amat menentukan dari segi kebijakan impor.

Itikad sejumlah pembantu Presiden Joko Widodo (Jokowi) di pemerintahan periode kedua yang ingin menyamakan persepsi tentang data pangan merujuk pada data Badan Pusat Statistik (BPS) patut diapresiasi.

Baca Juga

Direktur Utama Perum Bulog (Persero) Budi Waseso atau Buwas menegaskan Bulog hanya berpatokan pada satu data yakni BPS. "Data ya harus satu, BPS. Saya hari ini tetap pegang data BPS. Saya tidak pakai data saya (Bulog) karena ada data BPS dan imbangannya data BI," ujar Buwas saat acara Ngopi BUMN di Synergy Lounge Kementerian BUMN, Jakarta Pusat, Jumat (1/11).

Buwas menilai kesamaan data antarkemementerian dan lembaga sangat vital lantaran menentukan arah kebijakan pangan Indonesia. "Jadi kalau disuruh impor, mana datanya, di BPS kan enggak. Kalau data BPS (stok) lebih kan nggak perlu impor. Kalau data BPS stoknya minim karena cuaca tidak bagus ya saya ikuti, harus impor," ucap Buwas.

Buwas menegaskan dirinya bukan anti impor. Meski begitu, Buwas sangat berhati-hati melakukan impor karena akan menimbulkan dampak negatif bagi produksi dalam negeri. Kajian matang, termasuk validitas data dia sebut sangat penting agar tak salah ambil kebijakan. "Impor sesuai dengan kebutuhan kita," kata Buwas.

Sebelumnya, Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo, mulai melakukan komunikasi intensif dengan Badan Pusat Statistik (BPS) untuk sinkronisasi data pangan nasional, khususnya perberasan. Ia menegaskan, data milik BPS harus diyakini oleh semua pihak dengan harmonisasi kebijakan antar lembaga pemerintah.

Syahrul mengatakan, Kementan memang memiliki data pertanian tersendiri dan diharapkan dapat dijadikan pertimbangan oleh BPS. Namun, mantan Gubernur Sulawesi Selatan itu juga  tak ingin memaksakan kehendak mengenai data pertanian. Tujuannya agar ada kebijakan satu data yang memudahkan pekerjaan membereskan masalah produksi pangan di Indonesia.

"Saya yakin data BPS yang harus kita yakini. Oleh karena itu, saya pun tidak akan ngotot terhadap data yang saya miliki. Mentan tidak boleh pegang data lain," kata Syahrul usai menghadiri pengukuhan Profesor Riset Balitbangtan di Bogor, Jawa Barat, Selasa (29/10).

Pihaknya mendorong semua pihak terkait dalam penyusunan data pertanian untuk tidak lagi menonjolkan ego sektoral. Sebab, masalah pertanian menyangkut ketersediaan pangan bagi 267 juta masyarakat Indonesia. Sedikit perbedaan masalah data komoditas pertanian akan menimbulkan masalah besar bagi petani.

Ia berpendapat metode penghitungan dengan Kerangka Sampel Area yang berdasarkan tangkapan citra satelit masih harus disinkronisasi. Bias data mesti dihindari jika pemerintah memang berkomitmen untuk menyelesaikan persoalan pangan nasional.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement