Jumat 25 Oct 2019 12:19 WIB

Laju Reformasi Usaha di Asia Timur dan Pasifik Melambat

Lima negara di Asia Timur dan Pasifik masuk dalam pencapaian tertinggi secara global.

Rep: Imas Damayanti/ Red: Friska Yolanda
Bank Dunia
Bank Dunia

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Laju reformasi peningkatan iklim usaha di kawasan Asia Timur dan Pasifik dalam setahun terakhir mengalami pelambatan. Hal ini berdasarkan studi terbaru Doing Business 2020 dari Bank Dunia.

Dilaporkan, sebanyak 10 reformasi di kawasan mengalami penurunan selama periode 12 bulan. Adapun reformasi dilaksanakan dari setengah negara-negara kawasan yakni sebanyak 12 negara, dari 25 negara yang ada. Meski begitu, lima negara yang berada di kawasan Asia Timur dan Pasifik masuk dalam pencapaian tertinggi secara global. Antara lain Singapura di posisi ke-2, Cina ke-3, Malaysia ke-12, dan Thailand ke-21.

Baca Juga

"Beberapa perbaikan signifikan dilakukan, seperti Cina. Cina merupakan satu-satunya negara yang berada di posisi teratas dalam melakukan perbaikan selama dua tahun berturut-turut,” kata Senior

Economist Statistician World Bank, Arvind Jain, melalui sambungan konferensi video, di Kantor World Bank Indonesia, Jakarta, Jumat (25/10).

Dia menjabarkan, Cina memperbaiki peraturan di sebagian besar bidang-bidang yang diukur oleh Doing Business dan menerapkan reformasi paling banyak di kawasan. Misalnya, Cina melakukan penyederhanaan persyaratan untuk konstruksi berisiko rendah dan menjadikan proses lebih efisien untuk mendapatkan sambungan air serta drainase, dan mengurangi waktu tunggu untuk semua izin wajib selama 44 hari.

Di sisi lain dia menjabarkan, konstruksi di Cina juga cenderung lebih aman karena persyaratan dilimpahkan kepada kalangan profesional untuk bertanggung jawab melakukan inspeksi teknis. Selanjutnya, kata dia, Cina juga membantu perusahaan-perusahaan kecil dan menengah untuk mengakses pasar internasional dengan menerapkan deklarasi kargo di muka.

“Meningkatkan infrastruktur pelabuhan, optimalisasi administrasi bea cukai, sampai publikasi jadwal biaya,” ujarnya.

Sedangkan untuk Indonesia, Arvind menjabarkan, reformasi iklim usaha dilakukan dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi. Contohnya, Indonesia memperkenalkan sistem pelaporan dan pembayaran online untuk jenis pajak utama dan sistem elektronik manajemen.

Selain juga, Indonesia melakukan peningkatan proses pengurusan dokumen pabean untuk ekspor secara online yang mana mengurangi waktu kepatuhan perbatasan untuk ekspor sebesar tujuh jam.

Sebelumnya, data laporan kemudahan bisnis atau Ease of Doing Business Bank Dunia, Kamis (24/10) kemarin, Indonesia memperoleh nilai 69,6 poin di 2019 atau naik dari 67,96 poin jika dibandingkan tahun lalu. Hanya saja, posisi Indonesia berada di level stagnan atau tak beranjak dari tahun sebelumnya yakni peringkat ke-73 dari 190 negara.

Bank Dunia mencatat, terdapat lima perbaikan perizinan yang telah dilakukan Indonesia. Antara lain digitalisasi izin memulai bisnis, pembayaran pajak, perdagangan lintas batas negara, dan penegakkan kontrak. Hanya saja, dengan capaian posisi Indonesia ini, target yang dibukukan ini masih jauh dari target yang dicanangkan Presiden Joko Widodo yang menginginkan di peringkat 40 besar.

Di level Asia Tenggara, kemudahan berbisnis Indonesia masih jauh tertinggal dari Singapura yang berada di posisi ke-2, Malaysia peringkat ke-12, dan Vietnam ke-70. Indonesia hanya sedikit lebih baik dari Filipina di peringkat 95, Kamboja ke-144, Laos ke-154, Myanmar ke-165, dan Timor Leste ke-181.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement