Kamis 24 Oct 2019 09:03 WIB

KPPU akan Bahas Efektivitas Regulasi Cukai Rokok

Makin besar kapasitas produksi rokok perusahaan, makin besar tarif cukainya.

Pedagang menunjukan bungkus rokok bercukai di pasar Minggu, Jakarta, Ahad (15/9).
Foto: Republika/Prayogi
Pedagang menunjukan bungkus rokok bercukai di pasar Minggu, Jakarta, Ahad (15/9).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pengawaas Persaingan Usaha (KPPU) menyoroti efektivitas regulasi cukai rokok yang baru diterbitkan pemerintah dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 152 Tahun 2019. Salah satu yang menjadi sorotan soal kepatuhan perusahaan rokok dalam membayar kewajiban cukai sesuai golongan masing-masing.

Komisioner KPPU, Guntur Saragih di Jakarta pada Rabu (23/10), menuturkan tarif cukai yang mencapai 10 golongan dari tiga jenis rokok berpotensi untuk mendorong industri rokok menghindari kewajiban cukai yang tinggi. Secara umum, makin besar kapasitas produksi rokok dari satu perusahaan, makin besar tarif cukai yang dikenakan.

Baca Juga

"Dia bisa akan beralih ke harga cukai yang lebih rendah karena perbedaan tarif antar golongan besar sekali," kata Guntur saat ditemui, Rabu (23/10).

PMK 152 Tahun 2017 menaikkan rata-rata tarif cukai rokok sebesar 23 persen untuk sigaret kretek mesin (SKM), sigaret putih mesin (SPM) dan sigaret kretek tangan (SKT). Dari tarif cukai tiga jenis rokok itu, terdapat 10 golongan tarif sesuai kapasitas produksi industri.

Produsen rokok SKM yang memproduksi lebih dari 3 miliar batang per tahun dimasukkan ke golongan I dengan tarif cukai sebesar Rp 740 per batang. Sementara, industri yang memproduksi rokok di bawah 3 miliar batang per tahun dibedakan menjadi dua, yakni II A dan II B dengan kewajiban tarif cukai yang lebih murah, masing-masing Rp 470 per batang dan Rp 455 per batang.

Pada rokok SPM, perusahaan yang memproduksi 3 miliar batang per tahun juga masuk golongan I dengan tarif cukai Rp 790 per batang. Industri yang kapasitasnya di bawah 3 miliar juga dibagi menjadi II A dan II B dengan tarif cukai masing-masing Rp 485 per batang dan Rp 470 per batang.

Adapun untuk rokok SKT, industri yang kapasitas produksinya lebih dari 2 miliar batang per tahun dikenakan cukai Rp 425 per batang. Industri dengan kapasitas antara 500 juta sampai 2 miliar batang cukainya sebesar Rp 330 per batang.

Selanjutnya, produsen SKT dengan kapasitas produksi 10 juta sampai 500 juta batang terkena cukai Rp 200 per batang. Terakhir, produsen yang hanya memproduksi rokok kurang dari 10 juta per tahun dikenakan tarif cukai Rp 110 per batang.

Guntur mengatakan, dengan pola pikir pengusaha, tentu kenaikan tarif cukai rokok dengan golongan yang beragam memberikan celah agar industri bisa mensiasati jumlah produksi agar tak lebih dari 3 miliar batang per tahun.

Mengutip hasil riset Indonesa Budget Center bersama Komunitas Masyarakat Pemerhati Cukai Hasil Tembakau, salah satu strategi yang bisa dilakukan yakni perusahan membentuk anak-anak usaha lalu membagi produksi rokok sehingga bisa di bawah 3 miliar per tahun. Dengan begitu tarif cukai yang dikenakan bisa lebih rendah.

Menurut Guntur, secara aturan hal tersebut tidak salah. Namun, bagi KPPU hal itu menjadi iklim persaingan usaha yang tidak sehat. Terutama antara perusahaan skala besar dan kecil. "Selisih cukainya besar sekali, bisa jadi akan ada upaya agar industri rokok yang besar tidak masuk ke golongan satu," katanya.

Melihat itu, Guntur mengatakan akan membawa persoalan regulasi tarif cukai dalam rapat komisi di KPPU. "Saya akan bawa ini ke Rakom dan menjadi pembahasan di KPPU. Outputnya, kita akan berikan saran pertimbangan kepada Kementerian Keuangan," kata Guntur.

Lebih lanjut, ia mengatakan tidak menutup kemungkinan bagi KPPU untuk memanggil Kementerian Keuangan serta para industri rokok untuk berdiskusi mengenai regulasi tersebut. Namun, dalam waktu dekat, KPPU akan berdiskusi secara internal serta melakukan kajian komprehensi soal sistem tarif cukai hasil tembakau.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement