REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING – Ekonomi China tercatat tumbuh 6,0 persen (year on year/yoy) pada kuartal ketiga. Pertumbuhan ini menunjukkan kinerja ekonomi Negeri Tirai Bambu dengan laju terlemah dalam setidaknya 27,5 tahun terakhir. Data ini disampaikan Biro Statistik Nasional (National Bureau of Statistics/ NBS) setempat dalam rilisnya, Jumat (18/10).
Dilansir di Reuters, data tersebut menandai hilangnya momentum pertumbuhan ekonomi China setelah mampu tumbuh 6,2 persen pada kuartal kedua. Perlambatan ini sekaligus menjadi dorongan lebih bagi pemerintah dan bank sentral China untuk mengeluarkan lebih banyak kebijakan untuk menangkal perlambatan yang lebih efektif.
Data yang disampaikan NBS lebih rendah dibandingkan hasil survei Reuters yang memperkirakan, PDB China dapat tumbuh 6,1 persen pada kuartal kedua. Jajak pendapat para ekonom yang dilakukan Bloomberg pun memperkirakan ekonomi China periode Juli sampai September mampu tumbuh 6,1 persen.
Sementara itu, pemerintah China telah menetapkan kisaran target 6,0 hingga 6,5 persen untuk tingkat pertumbuhan keseluruhan pada 2019. Rilis data NBS pada Jumat menggambarkan, ekonomi China hanya mampu tumbuh di nilai terendah dalam target pemerintah itu.
Dilansir South China Morning Post, sejumlah data yang dirilis NBS juga menunjukkan, pertumbuhan industri China mengalami kinerja lebih baik pada September. Produksi industri, ukuran output pada sektor-sektor manufaktur dan pertambangan mampu tumbuh 5,8 persen. Angka ini di atas ekspektasi analisis sebsar 4,9 persen dan pertumbuhan Agustus, 4,4 persen.
Sementara itu, penjualan ritel yang menjadi ukuran utama tingkat konsumsi di China tumbuh sebesar 7,8 persen pada September (yoy). Angka ini naik dari 7,3 persen pada bulan sebelumnya. Hanya saja, pengukuran ini tidak termasuk penjualan mobil yang telah kontraksi selama 15 bulan berturut-turut.