REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Harga komoditas telur ayam dalam negeri kerap mengalami kejatuhan akibat produksi yang berlebih. Peternak mandiri yang tidak menjalin kemitraan dengan perusahaan integrator rentan mengalami kebangkrutan.
Kemunculan industri pabrikan untuk pembuatan tepung telur dinilai dapat menjadi penyangga suplai telur yang kerap berlebih di pasar. Hal itu memungkinan sebab kebutuhan tepung telur terus meningkat di Indonesia.
Ketua Umum Pinsar Petelur Nasional, Yudianto Yogiarso, mengatakan, dalam beberapa tahun terakhir, pasokan telur di pasar kerap jauh melebihi kebutuhan. Telur dan daging tetap dibutuhkan masyarakat, namun kenaikan konsumsi tidak seiring dengan pertumbuhan volume produksi telur dalam negeri.
Meski produksi telur naik, nyatanya tidak seluruhnya dapat digunakan oleh industri makanan. Sebab, rerata industri membutuhkan telur dalam bentuk tepung sebagai bahan baku.
Data BPS menunjukkan, impor tepung kuning telur dan putih telur pada 2015 sebesar 1.310,33 ton. Volume impor meningkat menjadi 1.785,1 ton pada 2018. Memasuki 2019, kurun waktu Januari-Agustus impor tepung telur sebesar 1.130,27 ton.
Di sisi lain, Kementan menyebut bahwa produksi telur dalam empat tahun terakhir rata-rata meningkat 1 juta ton. Tahun 2019, potensi produksi telur mencapai 4.753.382 ton atau melebih kebutuhan sebesar 4.742.240 ton.
"Secara teori (industri pengolah telur) bisa membuat harga stabil. Kita bisa buktikan bahwa telur di pasar kelebihan dan kami yang harus menahan stok," kata Yudianto saat ditemui di Jakarta, Kamis (17/10).
Padahal, kata Yudianto, telur menjadi satu dari sembilan komoditas bahan pangan pokok yang ditetapkan pemerintah. Namun, nasib peternak kian malang lantaran selalu mengalami kerugian. Belum lagi, risiko penyakit unggas yang harus diatasi para peternak.
Saat ini, tutur dia, rata-rata harga telur di tingkat peternak untuk wilayah Jawa berkisar Rp 16.000 -16.500 per kilogram (kg). Harga tersebut masih di bawah biaya produksi sebesar Rp 18.000 per kg. Adapun harga pembelian pemerintah (HPP) telur sesuai Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 19 Tahun 2018 sebesar Rp 18.000 - Rp 20.000 per kg.
"Usaha peternakan sangat berisiko. Telur terjuan atau tidak, ayam harus makan setiap hari. Kita tidak beri makan, maka hancur," kata dia.
Namun, Yudianto mengingatkan, sebelum pemerintah mendorong pelaku industri perunggasan untuk berinvestasi dalam industri tepung telur, edukasi kepada masyarakat juga harus digencarkan. Sebab, tepung telur selain digunakan industri juga dipakai oleh masyarakat dalam membuat makanan.
Industri yang dibangun pun belum perlu dalam skala besar. Bagi peternak, lanjut dia, yang terpenting saluran penyerapan telur peternak jadi lebih beragam agar tak lagi menumpuk di pasar bebas.
"Itu bisa jadi penyangga, skala industri disesuaikan. Artinya, pasokan yang berlebih itu yang masuk ke pengolahan," kata dia.
Di sisi lain, perlu data yang lebih valid terkait keberadaan peternak mandiri dan produksi detail setiap daerah. Ia mengatakan, pemerintah kerap menyatakan bahwa perlu data yang valid untuk memajukan sektor pertanian. Namun, hingga saat ini data konkret pun belum terwujud.