Kamis 17 Oct 2019 16:22 WIB

Tantangan Investasi dan Ekspor Hantui Pemerintahan Jokowi

Investor cenderung menunggu dan melihat upaya pemerintahan di periode kedua.

Rep: Retno Wulandhari/ Red: Friska Yolanda
Ilustrasi ekspor impor.
Foto: ANTARA FOTO/Didik Suhartono
Ilustrasi ekspor impor.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tantangan pemerintahan Presiden Joko Widodo lima tahun ke depan dinilai akan lebih berat dibandingkan periode sebelumnya. Ekonom Universitas Indonesia, Fithra Faisal Hastiadi, mengatakan tantangan investasi dan ekspor masih membayangi pemerintahan Jokowi jilid II ini. 

Dari sisi investasi, kerja pemerintah akan cukup berat melihat polemik pengesahan revisi RUU KPK yang dinilai dapat memicu investor menahan diri menanamkan modal di Indonesia. "Investor membaca ada upaya melemahkan KPK. Di sisi lain, jenis hambatan investasi yang berada diurutan teratas itu adalah korupsi," kata Fithra, Kamis (17/10).

Baca Juga

Di awal pemerintahan, menurut Fithra, investor akan cenderung menunggu dan melihat upaya pemerintah di periode II dalam merespons tuntutan masyarakat. Seperti diketahui, mayoritas masyarakat mendesak pemerintah menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) revisi UU KPK.

Berdasarkan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), pertumbuhan ekonomi Indonesia diproyeksikan meningkat di kisaran 5,5 –6,1 persen pada 2024. Untuk mencapai level tersebut, menurut Fithra, minimal dibutuhkan investasi masuk sebesar Rp 35 ribu triliun.

Untuk bisa mengundang investasi sebesar itu, dibutuhkan perbaikan tata kelola pemerintahan yang berkesinambungan. Sehingga, kontrol terhadap pemberantasan korupsi pun menjadi penting. 

"Apabila persepsi publik ini jelek maka investor nggak bakal mau datang," kata Fithra. 

Sementara itu dari sisi ekspor, Indonesia masih mengandalkan komoditas. Menurut Fithra, Indonesia harus melakukan pemetaan mengenai industri apa saja yang bisa didorong untuk meningkatkan produktifitas domestik sekaligus menggairahkan ekspor.

Fithra menjelaskan, industri yang potensial untuk dikembangkan yaitu industri pertanian. Indonesia seharusnya bisa mencontoh Australia dan New Zealand yang berhasil mengindustrialisasi pertaniannya sehingga naik level menjadi negara berpendapatan tinggi. 

Kedua, Indonesia juga bisa membangkitkan industri alat-alat komponen. Ini dalam rangka masuk ke dalam jejaring rantai global yang merupakan bagian dari investasi Jepang, Korea Selatan dan Cina. "Kita harus bisa menjadi hub, sebagaimana Thailand sudah melakukan itu," tutur Fithra. 

Ketiga, industri yang potensial untuk dibangun yaitu industri tradisional seperti tekstil dan industri berbasis sumber daya alam. Terakhir, industri juga perlu difokuskan pemerintah yaitu industri jasa pengangkutan, kesehatan, dan pendidikan. 

Senada, Wakil Ketua Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) Arif Budimanta, mengatakan tantangan pemerintah dalam lima tahun ke depan dari sisi ekspor yaitu pelemahan harga komoditas. "Ini sangat berpengaruh terhadap Indonesia karena ekspor kita yang utama sampai saat ini basisnya komoditas," kata Arif.

Atas dasar itu, sambung Arif, diperlukan terobosan yang lebih inovatif agar stabilitas ekonomi dapat terjaga terutama pertumbuhan ekonomi bisa di atas lima persen. Salah satu upaya mempercepat pertumbuhan ini dengan menghadirkan lapangan kerja yang lebih berkualitas. 

Menurut Arif, percepatan pertumbuhan ekonomi juga membutuhkan upaya percapatan distribusi akses dan aset. Bukan hanya dalam hal permodalan, tetapi juga peningkatan kualitas sumber daya manusia maupun teknologi. Kemudahan akses dan aset ini harus diberikan baik kepada usaha kecil menengah maupun usaha besar. 

"Usaha besar harus dibantu agar bisa berkompetisi di level regional, sedangkan UKM diarahkan untuk menguasai pasar domestik," ujar Arif.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement