REPUBLIKA.CO.ID, PADANG -- Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mengatakan, industri petrokimia menjadi salah satu subsektor industri memiliki kontribusi besar terhadap impor bahan baku. Setiap tahun, nilai impor bahan baku kimiat mencapai 20 miliar dolar AS atau 30 persen terhadap total impor bahan baku.
Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian, Achmad Sigit Dwiwahjono, mengatakan, melihat besarnya impor bahan kimia, perlu dilakukan upaya substitusi barang impor dengan barang lokal. Tanpa substitusi barang impor, sulit untuk meningkatkan nilai tambah dari industri hulu.
"Kita masih banyak impor. Tanpa substitusi barang impor tentu akan sulit untuk kita mencapai nilai tambahnya," kata Achmad dalam Pendalaman Kebijakan Industri dengan Wartawan di Padang, Selasa (8/10).
Untuk bisa melakukan substutusi barang impor, Achmad mengatakan dibutuhkan investasi baru di sektor hulu. Terutama untuk menghasilkan bahan baku yang dibutuhkan agar impor bahan baku dapat ditekan.
Menurut Sigit, dari tahun ke tahun permintaan terhadap industri petrokimia terus bertambah. Karenanya, antisipasi kenaikan impor bahan baku wajib dilakukan dengan substitusi. Namun, di sisi lain, diakui pula bahwa investasi pada industri petrokimia masih kurang.
"Setidaknya tahun 2023 kita bisa bangkitkan industri petrokimia sehingga 50 persen impor bahan kimiat bisa kita kurangi," katanya.
Sebagaimana diketahui, industri manufaktur merupakan satu dari lima industri prioritas dalam Peta Jalan Revolusi Industri 4.0. Selain manufaktur, terdapat industri makanan minuman, tekstil dan produk tekstil, elektronika, dan otomotif yang difokuskan untuk menerapkan sistem digitalisasi. Kelima industri itu memiliki porsi pada PDB Industri sebesar 65 persen dan menyerap 60 persen tenaga kerja bidang industri.