Jumat 04 Oct 2019 17:52 WIB

Kadin: Iklim Investasi dan Kualitas SDM Perlu Dipacu

Tak hanya dari internal, ekonomi global juga tak mendukung investasi dalam negeri.

Rep: Imas Damayanti/ Red: Friska Yolanda
Ilustrasi Investasi
Foto: Mgrol101
Ilustrasi Investasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hengkangnya perusahaan minuman ringan berkarbonasi menambah catatan sejumlah perusahaan besar yang ‘melarikan’ bisnisnya dari Indonesia. Untuk itu pemerintah diimbau memperbaiki iklim investasi dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) lokal guna mendukung sektor ekonomi.

Wakil Ketua Umum Bidang Moneter, Fiskal, dan Kebijakan Publik Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Raden Pardede mengakui, banyak investor internasional yang belum melirik Indonesia sebagai negara tujuan investasi. Tak seperti negara-negara lainnya di Asia Tenggara seperti Malaysia, Thailand, hingga Filipina. Hal ini lantaran iklim investasi di Indonesia dinilai kurang bersahabat dengan investor.

Baca Juga

“Ini sebetulnya masih permasalahan klasik, iklim dan lingkungan investasi kita belum mendukung capaian investasi itu sendiri,” kata Pardede saat dihubungi Republika.co.id, Jumat (4/10).

Iklim investasi yang kurang ciamik itu bukan tanpa bukti. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), investasi Pembentukan Modal Tetap Domestik Bruto (PMTDB) pada kuartal II 2019 sebesar 5,01 persen atau menurun dari kuartal sebelumya sebesar 5,03 persen. Angka itu juga terpantau menurun jika dibandingkan dengan periode yang sama di tahun sebelumnya yang mencapai 5,85 persen.

Meski begitu dia mengakui, saat ini pertumbuhan ekonomi global masih dalam masa slow down. Hal itu membuat para investor banyak melakukan pilihan-pilihan yang dalam kemungkinan besar menutup sebagian dari investasinya di luar negeri. Hanya saja dia menagaskan, iklim investasi dan usaha yang terjadi saat ini di Indonesia sepenuhnya juga sudah menjadi perhatian pemerintah dan Presiden Joko Widodo.

Adapun iklim investasi yang kurang kondusif itu antara lain disebabkan berbelitnya regulasi yang tak singkron antara pusat dengan daerah. Misalnya, kerumitan mendapatkan izin investasi di daerah kerap banyak dikeluhkn oleh para investor.

Sedangkan, lanjut dia, sistem perizinan berusaha secara elektronik atau Online Single Submission (OSS) belum mampu berbicara banyak dalam memuluskan capaian investasi. Sehingga hal itu menyebabkan ketidakpastian yang berkelanjutan terhadap dunia usaha.

Di sisi lain dia menjabarkan, saat ini kapasitas  SDM Indonesia masih terbilang rendah jika dibandingkan dengan SDM di negara-negara lain yang capaian investasinya moncer. Untuk itu pihaknya sepakat dengan rencana pemerintah untuk meningkatkan kualitas SDM dalam pemerintahan lima tahun ke depan.

Selain itu, Pardede melanjutkan, jumlah hari dan jam kerja di Indonesia juga lebih sedikit jika dibandingkan dengan negara-negara yang diklaim ramah investasi. “Biaya (gaji) tinggi enggak apa-apa sebetulnya asalkan produktivitasnya juga tinggi, jadi mengimbangi,” kata dia.

Dia menyebut, dengan hengkangnya perusahaan besar sekelas Pepsi, hal itu sedikit banyak memang disebabkan adanya pengaruh iklim investasi dan usaha yang belum sepadan, khususnya perizinan di daerah. Hanya saja dia menilai, peluang Indonesia untuk mendatangkan investasi masih bisa dicapai asalkan kedua permasalahan krusial terkait iklim investasi dan SDM bisa diperbaiki.

Seperti diketahui, baru-baru ini perusahaan minuman ringan berkarbonasi, Pepsi, memutuskan hengkang dari Indonesia. Perusahaan yang berkantor di Amerika Serikat itu dikabarkan tak lagi memperpanjang kerja sama dengan PT Anugerah Indofood Barokah Makmur (AIBM) yang berlaku efektif pada 10 Oktober 2019.

Sebelum kabar hengkangnya Pepsi dari Indonesia terdengar, Lafarge Holcim telah lebih dulu hengkang. Pada 2018 Lafarge Holcim menjual operasional di Indonesia dengan kesepakatan nilai 1,75 miliar dolar AS kepada PT Semen Indonesia Tbk. Saham Lafarge Holcim kemudian diakuisisi oleh PT Semen Indonesia sebesar 80,6 persen dan resmi berganti nama menjadi Semen Dynamix.

Kemudian, perusahaan minyak milik Saudi Arabia dan Amerika Serikat, Saudi Aramco, juga dikabarkan batal menanamkan investasinya ke Indonesia. Fakta ini membuat deretan nama perusahaan besar internasional seakan enggan berinvestasi di Indonesia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement