Kamis 26 Sep 2019 02:25 WIB

Pengamat: Pemanfaatan Gas Bumi Mesti Dioptimalkan

Indonesia memiliki cadangan gas bumi yang besar.

Rep: Intan Pratiwi / Red: Satria K Yudha
 Pembangunan pipa gas bumi PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk (PGN).   (foto : Dok. PGN)
Foto: Dok. PGN
Pembangunan pipa gas bumi PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk (PGN). (foto : Dok. PGN)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat ekonomi energi Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi menilai, pembangunan infrastruktur gas bumi harus digencarkan. Selain untuk mengejar target bauran energi, pemanfaatan gas bumi mesti dioptimalkan guna mengurangi defisit perdagangan minyak dan gas (migas). 

Menurut Fahmy, pembangunan infrastruktur gas bumi dapat dioptimalkan dengan menyasar  sentra-sentra industri baru yang bermunculan di berbagai daerah. Jika hal itu dilakukan, target bauran energi gas bumi yang dicanangkan pemerintah sebesar 22 persen dapat bisa tercapai. 

Fahmy menambahkan, di tengah meningkatnya impor migas, yang membuat defisit neraca perdagangan migas naik, optimalisasi gas bumi dalam kebijakan bauran energi sangat tepat. Jumlah cadangan terbukti gas bumi Indonesia saat ini mencapai 108,1 triliun kaki kubik (TcF) atau terbesar nomor 14 di dunia. Dari sisi lingkungan, kata dia, gas bumi merupakan energi yang bersih. 

"Harga hulu gas bumi juga lebih kompetitif, sekitar hampir sepersepuluh dari harga minyak bumi. Fakta dan data tersebut telah menjadikan gas bumi semakin penting dalam kebijakan energi nasional," kata Fahmy dalam keterangan tertulis, Rabu (25/9). 

Mengingat peran strategisnya itu, pemenuhan permintaan gas bumi secara berkelanjutan dan pasokan menjadi salah satu faktor penting yang harus diprioritaskan. Hal ini, kata dia, hanya bisa dilakukan melalui pembangunan dan pengembangan berbagai infrastruktur gas bumi.

Kendati demikian, Fahmy menyadari  pembangunan infrastruktur gas bumi bukan perkara mudah. Di tengah ketidakpastian pasokan gas di pasar, biaya investasi pembangunan infrastruktur gas sangat besar. Selain itu,  kembalinya biaya investasi dalam jangka panjang dan risiko bisnisnya juga tinggi. Inilah yang membuat hanya badan usaha yang memiliki komitmen kuat dalam mengembangkan gas bumi yang berani mengambil risiko membangun infrastruktur.

"Dengan beban biaya dan risiko yang besar, akan sulit bagi badan usaha manapun untuk membangun berbagai infrastruktur gas yang mampu menjangkau banyak daerah. Bisnis infrastruktur gas tidak seperti jalan tol yang tarifnya bisa dievaluasi secara periodik," ujar Fahmy. 

Menurut Fahmy, selama ini struktur harga gas bumi sebanyak 70 persen untuk biaya hulu. Karena itu, jika harga gas terlalu rendah, akan sulit bagi siapapun untuk mengembangkan infrastruktur. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement