Senin 23 Sep 2019 07:21 WIB

Indef: RI Belum Manfaatkan Pasar Halal di Negara Non-Muslim

Pemerintah belum memiliki kebijakan akurat untuk ekspansi produk halal lokal.

Rep: Imas Damayanti/ Red: Friska Yolanda
Seorang pekerja menyiapkan makanan di Kedai Yong Bengkalis yang sudah mengantongi sertifikasi halal Majelis Ulama Indonesia (MUI), di Kota Pekanbaru, Riau, Selasa (9/4/2019).
Foto: Antara/FB Anggoro
Seorang pekerja menyiapkan makanan di Kedai Yong Bengkalis yang sudah mengantongi sertifikasi halal Majelis Ulama Indonesia (MUI), di Kota Pekanbaru, Riau, Selasa (9/4/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peluang pasar produk halal tak hanya terbuka di negara-negara Muslim, melainkan juga di negara non-Muslim. Hanya saja, pemerintah belum memiliki kebijakan akurat yang konkret untuk berekspansi menyalurkan produk halal lokal. 

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eni Sri Hartati menyebut, belum adanya konektivitas atas mekanisme ketentuan halal di dalam negeri menjadi kendala utama mandeknya ekspor produk halal RI. Menurut Eni, mandeknya ekspor justru diperparah dengan membanjirnya produk halal impor yang membuktikan bahwa pemerintah lalai dalam menyusun kebijakan strategis halal di dalam negeri.

Baca Juga

“Dengan negara-negara OKI (Organisasi Kerja Sama Islam) saja kita defisit, artinya kita pun tidak bisa membendung produk impor itu. Artinya ada yang salah di dalam negeri,” kata Eni saat dihubungi Republika.co.id, Ahad (22/9).

Impor, kata Eni, tak hanya datang dari negara-negara anggota OKI yang memiliki kawasan industri halal seperti Malaysia. Saat ini produk halal impor pun kerap berdatangan dari negara-negara non-Muslim seperti Thailand, Cina, hingga Vietnam. Artinya, prospek pasar halal bagi pemerintah di negara-negara tersebut dijadikan hal yang serius dan ditindaklanjuti dengan kebijakan akurat.

Di Indonesia, kebijakan ekspor produk halal dinilai kerap terganjal regulasi yang berbelit. Dia mencontohkan, dengan adanya kewajiban mensertifikasi produk untuk halal saja, banyak pelaku usaha yang mengaku keberatan dan merasa hal itu menjadi beban. Hal itu dinilai karena kewajiban tersebut tak memiliki ruang untuk meringankan atau memberikan fasilitasi yang baik bagi pelaku usaha.

“Mau sertifikasi saja kan pelaku usaha harus bulak-balik, belum lagi biayanya. Sangat berbelit,” kata Eni.

Dalam peraturan perdagangan internasional, apabila Indonesia mensyaratkan ketentuan halal dalam produk impor yang masuk, hal serupa juga dijadikan ketentuan bagi negara-negara tertentu. Sayangnya, menurut dia hal ini tak diimbangi dengan hal sepadan dari pemerintah Indonesia.

Hal itu dibuktikan dengan masih belum samanya persepsi halal milik Indonesia dengan halal intenasional. Untuk itu dia mengimbau kepada pemerintah untuk segera mengharmonisasi kebijakan di dalam negeri agar mampu menjawab tantangan pasar halal global.

“Sehingga Indonesia ini jangan hanya jadi pasar produk halal saja, harusnya kan justru kita yang jadi penyuplai produk halal dunia,” ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement