REPUBLIKA.CO.ID, DUBAI -- Indonesia harus mempunyai grand strategy yang terintegrasi dari berbagai macam sektor ekspor untuk menghadapi rintangan tarif yang dikenakan anggota Organisasi Konferensi Islam (OKI) terhadap ekspor Indonesia. Indonesia Halal Economy Investment Forum 2019 tidak bisa menjadi solusi untuk mengatasi masalah itu.
Chairman Indonesia Halal Lifestyle Center (IHLC) Sapta Nirwandar menjelaskan Economy Investment Forum 2019 yang digelar di Dubai dan Jeddah lebih dimaksudkan sebagai upaya business matching antara pengusaha Indonesia dengan pengusaha di kedua negara. "Business matching ini seperti orang cari jodoh. Tidak sekali datang terus dapat jodoh, kendati tetap ada peluang untuk sekali bertemu dan cocok," ujarnya ketika ditemui Republika.co.id di sela acara itu di Dubai, Uni Emirate Arab, Selasa (17/9).
IHLC bekerja sama dengan Bank Indonesia dan Kementerian Luar Negeri menggelar Economy Investment Forum 2019 di Dubai pada 16-17 September dan 18 September di Jeddah. Melalui ajang ini, Sapta mengatakan, IHLC ingin membuka membuka peluang pasar bagi industri kecil, menengah dan beberapa industri besar yang bergerak di usaha halal. Karena itu, pengusaha yang ikut serta memiliki skala berbeda-beda.
"Seperti Jababeka, itu sudah besar dan sektor pariwisata yang berupa resort juga cukup besar. Tapi ada juga pengusaha ayam dan bebek, lalu pengusaha lain yang masih kecil dan baru tumbuh," ujarnya memaparkan. "Kita mengharapkan ada perspektif bersama yang dibangun di kalangan mereka."
Ajang ini ingin dijadikan Sapta sebagai solusi atas kendala yang dihadapi pengusaha halal Indonesia yang kerap mengeluhkan keterbatasan informasi pasar di Timur Tengah. Padahal para pelaku usaha itu wajib mengetahui informasi pasar dan mitra bisnisnya di Timur Tengah secara akurat. "Kalau ada pengusaha kita yang bisa langsung ke sini sendiri, itu bagus sekali. Tapi untuk yang kecil-kecil, itu kan tidak mungkin," katanya.
Menghadapi hambatan tarif yang dikenakan anggota OKI, wakil menteri pariwisata di era Presiden SBY ini mengatakan Indonesia masih mempunyai celah untuk mengatasinya. "Kita (IHLC) ini kan cuma LSM, yang mempunya kekuatan besar ya pemerintah," ujarnya menegaskan.
Indonesia masih tercatat sebagai eksportir nomor satu di antara anggota OKI dengan nilai mencapai tujuh miliar dolar AS. Hanya saja, Sapta mengatakan, produk yang diekspor Indonesia sebagian besar masih bersifat dasar seperti ikan, minyak, kelapa sawit, kopi, teh, dan sejenisnya.
Pemerintah, ujar Sapta, harus mulai berpaling pada ekspor produk lifestyle dan services. Untuk lifestyle, Indonesia dinilainya mempunya kelebihan seperti pada produk hijab, kosmetik, termasuk bermacam-macam startup. "Produk yang bisa mempunyai nilai tambah," sebutnya.
Lebih lanjut Sapta menyebutkan setidaknya ada lima jenis ekspor yang bisa digarap yakni fesyen, kosmetik, turisme, food, dan services lainnya. Indonesia dilihatnya mempunyai kemampuan di situ. Bila pemerintah mampu menggalakkan ekspor itu, ia yakin PDB paling tidak bisa tumbuh sekitar tiga persen. "Itu nominalnya besar," katanya menegaskan.