Senin 16 Sep 2019 15:44 WIB

Industri Kecil Minta Batasan Produksi Rokok Disamakan

Pabrikan besar dikhawatirkan menghindari tarif cukai dengan mengurangi produksi.

Rep: Febryan A/ Red: Gita Amanda
Panen Pertama Tembakau. Pekerja memeriksa kekeringan daun tembakau saat penjemuran di Muntilan, Jawa Tengah, Rabu (21/8).
Foto: Republika/ Wihdan
Panen Pertama Tembakau. Pekerja memeriksa kekeringan daun tembakau saat penjemuran di Muntilan, Jawa Tengah, Rabu (21/8).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Asosiasi perusahaan rokok kecil yang tergabung dalam Forum Masyarakat Industri Rokok Indonesia (Formasi) meminta pemerintah mempercepat penggabungan batasan produksi Sigaret Kretek Mesin (SKM) dan Sigaret Putih Mesin (SPM). Sehingga, tak ada lagi pabrikan besar yang bisa menghindari tarif cukai dengan mengurangi produksi.

"Kami masih berpijak pada usulan percepatan penggabungan batasan produksi SKM dan SPM," kata Ketua Harian Formasi Heri Susanto dalam Siaran Persnya yang diterima Republika.co.id di Jakarta, Senin (16/9).

Menurut Heri, struktur tarif cukai hasil tembakau, khususnya untuk SKM dan SPM, yang diterapkan saat ini masih memiliki celah yang bisa dimanfaatkan beberapa pabrikan besar asing untuk menghindari pajak. Caranya, kata dia, dengan membatasi volume produksi agar tetap di bawah golongan 1 atau di bawah tiga miliar batang per tahun.

Dengan cara seperti itu, pabrikan besar bisa terhindar dari kewajiban membayar tarif cukai tertinggi di golongan 1. Pabrikan besar itu berupaya untuk mendapatkan tarif cukai golongan 2 SPM dan SKM yang nilainya lebih murah sekitar 50-60 persen dibanding golongan 1.

Selain itu, Formasi juga meminta agar persentase kenaikan tarif cukai antara golongan 1 dan 2 disamakan. "Kenaikan dalam batas kewajaran, sesuai pertumbuhan ekonomi dan inflasi," ujar Heri.

Sedangkan untuk segmen Sigaret Kretek Tangan (SKT), Formasi meminta adanya penggabungan tarif SKT golongan 1. Adapun untuk SKT golongan 3, Formasi meminta batasan produksi dan besaran tarif dipertahankan, yakni 500 juta batang per tahun dengan tarif Rp 100 per batang.

Meski demikian, Heri mengaku asosiasi yang ia pimpin sangat mengapresiasi pemerintah yang telah menekan peredaran rokok ilegal. "Harapan kami, ekonomi terus tumbuh, khususnya penerimaan negara di bidang industri hasil tembakau meningkat, tanpa mengorbankan pabrikan dan penyerapan tenaga kerja tetap berlangsung," paparnya.

Seperti diketahui, mulai 1 Januari 2020, pemerintah resmi memberlakukan kenaikan tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) atau cukai rokok sebesar 23 persen. Selain itu, pemerintah juga mengatur Harga Jual Eceran (HJE) rokok. Kenaikan harga jual eceran rokok ditetapkan sebesar 35 persen.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement