REPUBLIKA.CO.ID, SEOUL -- Harga minyak melonjak diperdagangan Asia pada Senin (16/9) pagi. Harga emas hitam tersebut mencapai level tertinggi sejak Mei pada pembukaan, di tengah kekhawatiran gangguan pasokan menyusul serangan terhadap fasilitas minyak Arab Saudi pada Sabtu (14/9) yang memotong lebih dari lima persen pasokan minyak global.
Patokan internasional minyak mentah berjangka Brent terangkat 7,06 dolar AS per barel atau 11,7 persen dari penutupan New York pada Jumat (13/9) menjadi diperdagangkan di 67,28 dolar AS per barel pada pukul 01.08 GMT (08.08 WIB). Sebelumnya harga sudah melonjak lebih dari 19 persen ke tertinggi sesi 71,95 dolar AS per barel pada pembukaan perdagangan.
Patokan AS, minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) melompat 5,76 dolar AS per barel atau 10,5 persen menjadi diperdagangkan di 60,60 dolar AS per barel, setelah melonjak lebih dari 15 persen ke tertinggi sesi di 63,34 dolar AS per barel.
Harga berkurang dari puncaknya setelah Presiden AS Donald Trump mengatakan ia menyetujui pelepasan minyak dari Cadangan Minyak Strategis AS (SPR) jika diperlukan dalam jumlah yang akan ditentukan karena serangan terhadap fasilitas Arab Saudi.
Raksasa minyak negara Saudi Aramco mengatakan serangan itu memangkas produksi sebesar 5,7 juta barel per hari, pada saat Aramco sedang mencoba untuk mempersiapkan diri untuk apa yang diharapkan menjadi penjualan saham terbesar di dunia.
Aramco tidak memberikan batas waktu untuk dimulainya kembali produksi. Sebuah sumber yang dekat dengan masalah ini mengatakan kepada Reuters bahwa kembali ke kapasitas minyak penuh bisa memakan waktu "minggu, bukan hari."
Ekspor minyak Arab Saudi akan berlanjut seperti biasa minggu ini ketika kerajaan memanfaatkan stok dari fasilitas penyimpanannya yang besar, sumber industri menjelaskan tentang perkembangan tersebut kepada Reuters, Ahad (15/9).
"Lonjakan harga adalah reaksi spontan alami tetapi jalan di depan dan kemampuan untuk mempertahankan pada tingkat yang tinggi tetap tergantung pada durasi penutupan, kemampuan untuk memenuhi komitmen ekspor melalui penarikan domestik, elastisitas permintaan dengan harga yang lebih tinggi serta kebijakan pemerintah dan agensi," kata Michael Tran, direktur pelaksana strategi energi di RBC Capital Markets di New York.
Serangan terhadap pabrik-pabrik di jantung industri minyak Arab Saudi, termasuk fasilitas pemrosesan minyak bumi terbesar di dunia, datang dari arah Iran, dan rudal jelajah mungkin telah digunakan, menurut seorang pejabat senior AS.
Trump juga mengatakan Amerika Serikat "siap sepenuhnya" untuk tanggapan potensial terhadap serangan terhadap fasilitas minyak Arab Saudi.
Premi risiko
Menyusul serangan terhadap fasilitas minyak utama Arab Saudi, S&P Global Platts mengatakan kekhawatiran tentang keamanan pasokan di Timur Tengah telah meningkat dan premi risiko di pasar minyak mentah global diperkirakan akan meningkat.
ANZ Research juga mengatakan dalam sebuah catatan bahwa pasar akan dihargai dalam premi risiko geopolitik global yang cukup besar. "Setiap ekspektasi yang dimiliki pasar tentang sanksi pelonggaran AS terhadap Iran setelah pemberhentian John Bolton oleh Presiden Trump akan segera hilang. Ini akan membuat minyak mentah Brent menguji tanda 70 dolar AS per barel dalam jangka pendek," kata ANZ Research.
"Arab Saudi akan menjadi pembeli signifikan produk kilang setelah serangan pada Sabtu (14/9)," kata konsultan Energy Aspects dalam sebuah catatan.
Saudi Aramco kemungkinan akan membeli sejumlah besar bensin, solar, dan kemungkinan bahan bakar minyak sambil memotong ekspor gas minyak cair. Bensin berjangka AS melonjak 11 persen, sedangkan minyak pemanas berjangka AS naik sekitar 6,5 persen pada pembukaan.
Sementara itu, Saudi Aramco telah mengatakan kepada satu kilang India bahwa tidak akan ada dampak langsung pada pasokan minyak karena akan mengirim minyak mentah dari sumber lain dan memiliki persediaan yang memadai, kata sumber dengan kilang tersebut.
Pembeli Asia lainnya seperti Thailand juga mengatakan serangan itu tidak akan berdampak langsung pada impor minyak.