Selasa 10 Sep 2019 01:00 WIB

Produksi Garam Nasional Perlu Miliki Skala Ekonomi yang Masif

Volume impor garam periode Januari-Februari 2018 mencapai 299 ribu ton

Rep: Imas Damayanti/ Red: Nidia Zuraya
Petambak sedang panen garam di Desa Ciparage Jaya, Kecamatan Tempuran, Karawang.
Foto: dok. Koperasi Segara Jaya
Petambak sedang panen garam di Desa Ciparage Jaya, Kecamatan Tempuran, Karawang.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Harga garam petambak rakyat yang kerap anjlok dinilai menjadi sisi lemahnya produksi yang tak memiliki skala ekonomi luas. Untuk itu pemerintah didorong untuk menciptakan wilayah sentra garam yang memiliki skala ekonomi masif.

Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Rusli Abdullah mendorong pemerintah untuk menciptakan wilayah sentra produksi garam. Wilayah sentra yang dimaksud harus berada di kawasan strategis dan mampu mengakomodasi garam kebutuhan industri dengan 97 persen kadar NaCl-nya.

Baca Juga

“Saya rasa memang pemerintah harus siapkan wilayah sentra khusus untuk garam, selama ini kan lahan petambak rakyat itu masih terpencar-pencar,” ujar Rusli saat dihubungi Republika, Senin (9/9).

Terpencarnya garam produksi rakyat itu menyebabkan ongkos angkut dari wilayah produksi ke wilayah konsumsi menjadi membengkak. Belum lagi jika diukur dari biaya produksi, kata dia, garam lokal masih membutuhkan biaya produksi yang sangat tinggi sehingga belum mampu berdaya saing.

Minimnya infrastruktur pendukung, menurut Rusli, kerap menjadikan biaya produksi garam rakyat mahal. Jika dibandingkan dengan negara produsen garam seperti Australia, petambak di sana sangat mudah menambak garamnya dengan menghasilkan NaCl yang sesuai standar.

“Di Australia itu garamnya pakai skema ditambang, jadi enggak dijemur-jemur dulu sudah sesuai skala industri,” ungkapnya.

Rusli menyayangkan pengelolaan komoditas pangan di Indonesia yang kurang memiliki skala ekonomi masif tak seperti sawit. Menurut dia apabila pengelolaan komoditas pangan mampu memasukkan elemen ekonomi yang masif maka dengan sendirinya gejolak harga garam dapat diminimalisasi.

Dia menambahkan, kalaupun pemerintah membangun sentra produksi garam di kawasan strategis namun harus dipastikan lahan produksi milik petambak rakyat yang sudah eksis tetap harus dibina. Menurutnya, wilayah yang cukup ideal dijadikan sentra produksi garam adalah Nusa Tenggara Timur (NTT).

Catatan Kementerian Perindustrian (Kemenperin), selama ini Indonesia masih memasok kebutuhan garam industri dari impor sebesar 84 persen. Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS) impor garam periode Januari-Februari 2018 mencapai 299 ribu ton dengan nilai 9,5 juta dolar AS. Volume impor tersebut naik sebesar 62 persen dari periode yang sama di tahun sebelumnya sebesar 184 ribu ton.

Rusli berpendapat, minimnya daya saing produksi lokal membuat impor garam industri tak dapat dibendung. Kualitas garam memang menjadi salah satu acuan bagi industri untuk mendatangkan garam yang akan digunakan untuk kebutuhan produksi.

Salah satu sektor industri yang paling ketat dalam menerapkan standar acuan garamnya adalah industri makanan dan minuman (mamin). Standar industri mamin yang diterapkan terbilang ketat sebab kualitas garam yang dipakai akan mempengaruhi standar rasa produk mamin.

Sebelumnya diketahui, Direktur Industri Kimia Hulu dari Direktorat Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil Kemenperin Fridy Juwono menyampaikan, pemerintah akan terus berupaya menyerap garam petambak rakyat asalkan sesuai dengan kadar garam industri. Sedangkan hingga saat ini menurut dia, kapasitas garam perambak rakyat belum mampu memenuhi kebutuhan standarisasi industri tersebut.

“Kalau sudah memenuhi standar industri, mungkin secara bertahap kita akan kurangi impornya,” ungkapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement