Senin 09 Sep 2019 19:24 WIB

Lembaga Antikorupsi Perlu Diajak Optimalkan Penerimaan Cukai

Peran KPK mencegah potensi kehilangan penerimaan negara sangat diperlukan.

Pekerja membersihkan logo Komisi Pemberantasan Korupsi di gedung KPK, Jakarta, Senin (5/2).
Foto: Antara/Muhammad Adimadja
Pekerja membersihkan logo Komisi Pemberantasan Korupsi di gedung KPK, Jakarta, Senin (5/2).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga antirasuah seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) perlu diajak kerja sama oleh pemerintah untuk memaksimalkan potensi penerimaan cukai. Kebijakan tarif cukai rokok perlu diperbaiki agar celah kebocorannya bisa diminimalisasi.

Pemerhati Kebijakan Publik Agus Wahyudin mengatakan perbaikan-perbaikan aturan diperlukan karena ini menyangkut kepentingan publik. "Pemasukan negara dari cukai harus maksumal untuk pembiayaan-pembiayaan bagi kepentingan masyarakat," ujar dia di Jakarta Senin (9/9).

Agus mengatakan pemerintah perlu melakukan penelitian mengenai potensi kebocoran dalam penerimaan cukai. Bila diperlukan, pemerintah bisa mengajak kerja sama pihak terkait lainnya. Langkah ini diperlukan untuk mempersempit ruang bagi pihak-pihak yang akan berlaku curang.

Lembaga seperti KPK, kata Agus, perlu dilibatkan untuk melakukan kajian dan rekomendasi kepada pemerintah terkait struktur tarif cukai rokok. Struktur tarif cukai rokok saat ini dinilainya memiliki celah yang membuat pendapatan negara berpotensi tidak optimal. Salah satunya akibat perusahaan rokok besar yang masih bisa membayar cukai rokok dengan nilai lebih murah.  

Rektor Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan Jakarta Mukhaer Pakkanna menyatakan KPK menjadi lembaga yang kompeten memberikan rekomendasi serta berpengalaman dalam pencegahan korupsi. Oleh karenanya, peran KPK mencegah potensi kehilangan penerimaan negara sangat diperlukan.

Menurut Mukhaer, kebijakan terkait rokok melibatkan banyak kepentingan lembaga dan kementerian. Di antara kementerian yang terlibat adalah Kementerian Kesehatan, Kementerian Sosial, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Keuangan.

Sementara Wakil Kepala Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah Universitas Indonesia Abdillah Ahsan menilai KPK perlu membuat kajian tentang kebijakan struktur tarif cukai rokok untuk mengukur peluang penerimaan negara. Kebijakan saat ini tidak efisien dan tidak konsisten dalam pengendalian konsumsi dan optimalisasi potensi penerimaan negara.

Abdillah mencontohkan, dari penyederhanaan golongan tarif saja, penerimaan negara seharusnya bisa bertambah hingga Rp 7,4 triliun per tahun. “Jumlah ini sangat banyak. KPK semangat mengadakan OTT untuk kasus-kasus Rp 5 miliar, ini ada potensi hilang Rp 7,4 triliun karena kebijakan yang tidak efisien,” ujar dia.

Padahal, dana itu bisa digunakan untuk membiayai pembangunan baik infrastruktur maupun sumber daya manusia. Abdillah berharap keterlibatan KPK dalam kajian kebijakan tarif cukai rokok mampu mendorong pemerintah membuat kebijakan yang berkeadilan.

Saat ini, kebijakan tarif cukai rokok diatur oleh PMK 146/2017 yang lantas direvisi menjadi PMK 156/2018 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau. Berbagai kajian menunjukkan ketentuan tersebut memiliki celah yang bisa dimanfaatkan industri rokok besar untuk membayar tarif cukai pada golongan rendah. Akibatnya, penerimaan negara tidak optimal.

Indonesia Budget Center (IBC) dan Pusat Kajian Anti Korupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) sebelumnya juga meminta KPK turut mencegah berbagai celah yang ada dalam PMK itu. Keduanya menilai, kebijakan yang rumit melahirkan potensi korupsi dan memunculkan potensi kehilangan penerimaan negara.

KPK dinilai sangat lumrah melakukan berbagai kajian untuk menutup potensi kerugian negara. Awal tahun ini saja, KPK memberikan rekomendasi kepada Presiden untuk menghapuskan insentif fiskal di zona perdagangan bebas (free trade zone/FTZ) yang merugikan negara sangat besar.  

Rekomendasi tersebut terbukti cukup efektif mencegah berbagai penyimpangan yang dibuktikan dengan pencabutan pemberian insentif fiskal rokok di FTZ sejak 17 Mei 2019. Dengan demikian, kajian dan rekomendasi sejenis dinilai dapat dilakukan terhadap peraturan tentang tarif cukai rokok.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement