REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah mengakui insentif pajak tak cukup untuk bisa menarik aliran foreign direct investment (FDI) atau investasi asing ke sektor riil. Pelaku usaha akan melihat keseluruhan ekosistem investasi di suatu negara sebelum memutuskan untuk menanamkan modalnya.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan, Suahasil Nazara menilai bahwa insentif pajak di Indonesia cukup kompetitif dibanding negara-negara kawasan. Namun, harus diakui ihwal pajak dan insentif pajak bukan menjadi satu-satunya faktor yang bisa membantu Indonesia memperbaiki pertumbuhan investasi.
"Banyak faktor lain yang harus dipikirkan si pemilik modal. Kalau insentif pajak diberikan terus tapi ekosistem tidak diperbaiki, ya sama saja. Mungkin orang juga tidak mau untuk investasi (di Indonesia)," kata Suahasil di Gedung DPR, Jumat (6/9) malam.
Suahasil menjelaskan, bukan berarti insentif tidak perlu diberikan kepada calon investor. Seluruh kebijakan harus saling mendukung sehingga membentuk bauran yang mendukung ilklim kondusif bagi sektor bisnis. Terutama di sektor riil yang memberikan banyak manfaat kepada pertumbuhan ekonomi.
Kebijakan dukungan yang saat ini dibutuhkan untuk membentuk ekosistem investasi yang baik yakni, soal ketenagakerjaan, efisiensi logistik, infrastruktur dasar, jaringan telekomunikasi, hingga tenaga listrik. "Itu yang membuat pemilik modal bersedia masuk ke Indonesia," kata dia.
Bank Dunia dalam risetnya bertajuk Global Economic Risks and Implications for Indonesia menyebut, Indonesia harus meningkatkan FDI untuk bisa menyelamatkan laju pertumbuhan ekonomi. Sebab, selama bulan Juni-Agustus 2019, sebanyak 33 perusahaan merelokasi pabriknya ke luar negeri untuk menghindari ancaman perang dagang AS-Cina.
Dari catatan Bank Dunia, 23 perusahaan pindah ke Vietnam. Sedangkan sisanya, 10 perusahaan bergeser ke Kamboja, India, Malaysia, Meksiko, Serbia, dan Thailand. Sementara Indonesia, tidak mendapatkan FDI imbas perang dagang AS-Cina.
Bank Dunia menyebut, insentif perpajakan belum dapat memperbaiki masalah yang dihadapi Indonesia. Insentif juga belum bisa membawa Indonesia menjadi kompetitif di kancah global, baik untuk sektor otomotif, tekstil, elektronik, farmasi, dan industri manufaktur lainnya.
Suahasil pun tak menampik bahwa pernyataan Bank Dunia tersebut ada benarnya. "Jadi bukan hanya dari satu kebijakan lalu investor berduyun-duyun masuk. Bukan hanya satu. Itu yang dimaksud Bank Dunia," katanya.
Lebih lanjut, Bank Dunia pun menyebut bahwa di pasar modal, Indonesia menghadapi ancaman capital outflow yang besar dibanding 10 tahun terakhir. Hal itu bakal diikuti dengan kenaikan suku bunga acuan dan depresiasi mata uang rupiah.