REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pelaku usaha saat ini mendorong optimalisasi bahan baku sustainable fashion. Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Hubungan Internasional Shinta W Kamdani mengatakan untuk menuju ke sana, pelaku usaha mengharapkan adanya insentif yang bisa diberikan pemerintah.
Salah satu insentif yang diharapkan yaitu dari segi perpajakan. “Kita sudah bilang beberapa kali dari segi industrinya. Sustainable dari segi biaya lebih tinggi. Dasarnya saja sudah begitu gimana sustainable ada kenaikan lagi biaya,” kata Shinta di Gedung Kadin Indonesia, Senin (2/9).
Dia menjelaskan selain dari segi produksi, output dari limbah tekstil juga harus diperhatikan. Untuk mencapai hal tersebut, Shinta menuturkan pelaku usah juga memerlukan biaya sehingga insentif fiskal juga dibutuhkan.
Selain itu, insentif dari segi pembiayaan juga dibutuhkan. “Dari bank, bisa nggak bank itu juga memberikan kebijakan untuk interest yang lebih baik, bunga bank yang lebih baik untuk industri yang lebih sustainablity,” ungkap Shinta.
Shinta menilai, perizinan juga bisa menjadi insentif untuk bahan baku yang sustainable. Jika dari segi perizinan lebih cepat, lanjut Shintam, juga bisa menjadi seberapa jauh dorongan ke arah yang lebih sustainable untuk produk tekstil.
Semetara itu, Sekjen Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Achmad Sigit Dwiwahjono mengatakan saat ini pihaknya masih terus mengkaji tantangan dalam industri tekstil dan produk tekstil (TPI). Berikut juga dengan memperbaiki kinerjanya.
“Misalnya dengan mengkaji aturan yang memberatkan industri serta membuka keran investasi tekstil sebagai substitusi impor,” ujar Sigit.
Sigit menegaskan pada dasarnya Kemenperin mendorong penggunaan bahan baku tekstil yang bisa diproduksi dari dalam negeri. Beberapa di antaranya seperti viscose rayon.
Sigit mengharapkan dengan adanya fokus pada produk berorientasi ekspor akan meningkatkan kinerja industri. “Sehingga kita semakin dekat untuk merealisasikan targe membuat Indonesia 4.0,” ungkap Sigit.