Kamis 29 Aug 2019 13:00 WIB

Melawan Praktik Shadow Banking dengan Integrasi Tekfin-Bank

Praktik shadow banking di Indonesia belum sebesar di negara lain.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Nidia Zuraya
Fintech
Foto: Republika
Fintech

REPUBLIKA.CO.ID, BALI -- Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menuturkan, transformasi digital dalam sektor perbankan harus dilakukan untuk menghadapi ‘kematian’ era globalisasi dan kebangkitan era digitalisasi. Ini dilakukan sebagai upaya menghindari praktik shadow banking atau lembaga keuangan non bank yang bertindak seolah bank.

Arahan kebijakan itu sudah tertuang dalam visi sistem pembayaran Indonesia 2025. Perry menuturkan, transformasi digital dalam perbankan itu kemudian dapat diintegrasikan dengan teknologi finansial (tekfin).

Baca Juga

"Ini supaya tidak terjadi perbankan maya atau shadow banking," tuturnya dalam konferensi pers Konferensi Internasional ke-13 Bulletin of Monetary Economics and Banking (BMEB) di Bali, Kamis (29/8).

Perry menekankan, integrasi ini menjadi sebuah kebutuhan seiring dengan perkembangan fintech yang terus memfasilitasi berbagai tujuan. Mulai dari pembiayaan melalui peer to peer (p2p) lending maupun sistem pembayaran dalam bentuk uang elektronik (e-money).

Sementara itu, Kepala Institut BI Solikin M Juhro menjelaskan, praktik shadow banking di Indonesia sendiri memang masih belum sebesar di negara lain. Khususnya China yang memiliki perkembangan fintech sangat pesat. "Shadow banking di sana tinggi," ujarnya.

Solikin mengakui, mengontrol perkembangan fintech yang sangat pesat dan sudah menyentuh berbagai aspek kebutuhan masyarakat menjadi tantangan. Baik dari sisi legalitas ataupun perlindungan terhadap konsumen.

Sebagai respon terhadap perkembangan tersebut, Solikin menambahkan, bank sentral telah menekankan pada poin kedua dan ketiga dalam visi pembayaran Indonesia 2025.

Secara perinci, pilar kedua dalam visi pembayaran Indonesia 2025 adalah mendukung digitalisasi perbankan sebagai lembaga utama dalam ekonomi-keuangan digital melalui open-banking maupun pemanfaatan teknologi digital dan data dalam bisnis keuangan. 

Sementara itu, pada pilar ketiga, BI menjamin interlink antara perusahaan fintech dengan perbankan untuk menghindari risiko shadow banking melalui pengaturan teknologi digital (seperti Application Programming Interface/API), kerja sama bisnis, maupun kepemilikan perusahaan.

Integrasi ini yang tidak dilakukan di negara dengan praktik shadow banking tinggi seperti Cina. "Di sana fintech terus tumbuh tanpa diiringi kebijakan yang terintegrasi," ucap Solikin.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement