Kamis 29 Aug 2019 05:55 WIB

Vale Menyambut Peluang Industri Mobil Listrik

Hasil nikel olahan Vale nantinya digunakan untuk memproduksi baterai mobil listrik.

Rep: Erik Purnama Putra/ Red: Gita Amanda
Sebuah dump truck mengangkut material pada pengerukan lapisan atas di pertambangan nikel PT Vale Indonesia di Soroako, Luwu Timur, Sulawesi Selatan, belum lama ini.
Foto: FOTO: Antara/Basri Marzuki
Sebuah dump truck mengangkut material pada pengerukan lapisan atas di pertambangan nikel PT Vale Indonesia di Soroako, Luwu Timur, Sulawesi Selatan, belum lama ini.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- PT Vale Indonesia Tbk. menatap babak baru dalam perjalanan bisnis pengolahan nikel. Perusahaan yang berdiri pada 25 Juli 1968, ini siap melakukan pengembangan industri guna menangkap peluang berkembangnya industri mobil listrik di Indonesia.

Hal itu didasari keluarnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Progam Kendaraan Bermotor Listrik (KBL) Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) untuk Transportasi Jalan yang diteken Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 12 Agustus 2019.

Baca Juga

Dalam aturan tersebut, tertuang komitmen pemerintah untuk mempercepat pengembangan industri sepeda motor atau mobil listrik berbasis baterai lewat industri dalam negeri, pemberian insentif, hingga penyediaan infrastruktur pengisian listrik.

Head of Investor Relations and Treasury PT Vale Indonesia, Adi Susatio menjelaskan, selain di Sorowako, Sulawesi Selatan, perseroan juga memiliki kontrak karya green field di Pomalaa, Sulawesi Tenggara. Selama ini, perseroan selalu mengekspor hasil nikel olahan dari hasil pertembangan di Sorowako.

Ke depannya, perseroan akan membangun fasilitas proyek di Pomalaa, yang dapat digunakan untuk membuat bahan baku baterai mobil listrik. Jika blok Pomalaa sudah beroperasi, Vale Indonesia menargetkan bisa mendapat tambahan pasokan 40 ribu ton per tahun dari sebelumnya, produksi nikel matte di angka 70 ribu ton per tahun yang disumbang Sorowako.

Menurut Adi, fasilitas pengolahan di Pomalaa akan memproses bijih nikel dan menghasilkan Mixed Sulphide Precipitate (MSP) dengan kandungan nikel di atas 45 persen, yang menjadi bahan utama baterai mobil listrik. "Rencananya kita proses bahan bakunya ada di Pomalaa, kita akan patungan dengan Sumitomo Metal Mining, untuk membuat produk nikel sebagai salah satu bahan baku baterai listrik," kata Adi saat berbincang dengan Republika.co.id, belum lama ini.

Melihat peluang pasar mobil listrik yang besar di Indonesia, menurut Adi, Vale Indonesia menyiapkan tahapan agar nikel olahan yang selama ini dikhususkan untuk ekspor, nantinya digunakan menjadi bahan baterai mobil listrik. Dia menerangkan, fasilitas pembuatan baterai listrik yang dikembangkan menggunakan teknologi High Pressure Acid Leaching (HPAL).

Adi mengatakan, Vale Indonesia nantinya mendapatkan pemasukan besar dari hasil pengolahan dan penjualan bijih nikel di fasilitas tersebut. "Jadi sudah lama banget kita buatnya, bukan karena ada Perpres Mobil Listrik. Sekarang ini, kita lagi mendapatkan izin eksplorasi dan mencoba mendapatkan izin ekploitasi yang belum," kata Adi.

Menurut Adi, nikel merupakan komponen material yang penting dalam teknologi baterai. Dengan tingkat kepadatan tinggi, kata dia, nikel membuat baterai bisa menyimpan energi dalam kapasitas lebih besar. Dampaknya, mobil bisa berjalan lebih jauh sehingga biayanya sangat efisien.

"Dengan teknologi terbaru, baterai listrik yang terbuat dari nikel itu bisa menyimpan energi untuk mobil menempuh perjalanan sampai 400 kilometer. Itu sudah disimulasikan dan dipakai di luar negeri," kata Adi.

Dia optimistis, penggunaan mobil listrik di Indonesia akan menjadi tren dan tinggal menunggu waktu untuk booming di Indonesia. Karena itu, Vale Indonesia ingin terlibat secara konkret dalam menyambut hadirnya jenis transportasi baru di masyarakat. Dengan konsep green economy yang diterapkan pemerintah maka keberadaan mobil listrik ke depannya akan memenuhi jalanan.

Salah satu faktor agar mobil listrik feasible, menurut Adi, apabila harganya terjangkau. Padahal, harga mobil listrik sekitar 40 persen disumbang komponen baterai. Menyikapi hal itu, perusahaan berkode emiten INCO tersebut ingin berkontribusi besar dalam pembuatan baterai.

"Jadi itu (penjualan baterai) salah satu duit juga. Tapi kita buat bahan baku baterai, karena cost penjualan mobil listrik 40-50 persen dari baterai, bisa dijual lebih murah (kalau produksi baterai banyak)," kata Adi.

Apalagi, lanjut Adi, bahan baku baterai tersedia di Indonesia, dan Vale Indonesia siap memproduksinya. Sehingga kalau hal itu terwujud, bisa memberikan multiplier effect, yaitu memberi nilai tambah hasil tambang nikel menjadi baterai yang memiliki nilai jual tinggi dan menambah pemasukan negara dari pajak.

"Teknologi terbaru itu baterai listrik bahannya 80 persen nikel. Nikel ada di Indonesia, dibuat di Indonesia pabriknya, maka harga mobil listrik bisa ditekan, masuknya devisa ke negara kita," kata Adi.

Menurut Adi, beroperasinya mobil listrik tentu akan menguntungkan pemerintah dalam jangka panjang. Hal itu lantaran kendaraan tersebut tidak mengonsumsi bahan bakar minyak (BBM). Padahal, di sisi lain, pemerintah saat ini dipusingkan dengan tingkat impor BBM yang terus naik, hingga membuat neraca perdagangan defisit.

Kalau nantinya penjualan baterai menunjukkan perkembangan positif, secara tidak langsung kontribusi Vale terhadap penerimaan negara juga ikut meningkat. Karena itu, pihaknya meminta dukungan pemerintah supaya berkomitmen memberi insentif atau subsidi agar kendaraan ramah lingkungan tersebut harganya dapat terjangkau.

"Kalau skala ekonomis tercapai dan di-support pemerintah, misalnya tidak kena aturan ganjil-genap atau dikurangi pajaknya, akan membuat orang beralih ke mobil listrik," kata Adi.

Kuncinya baterai

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Faby Tumiwa mengatakan, perusahaan dalam negeri bisa menangkap peluang dalam pembuatan baterai terkait disahkannya Perpres Mobil Listrik. Dia menyatakan, sebenarnya industri mobil listrik paling tidak terbagi dalam tiga komponen, yaitu baterai, alat konversi tenaga, dan mesin, yang menyumbang 85 persen harga mobil.

"Indonesia peluangnya ada di baterai karena punya perusahaan pengolahan nikel, jadi bisa masuk ke dalam pengembangan baterai listrik," kata Faby.

Menurut Fabby, teknologi pembuatan baterai harus bisa dikerjakan di dalam negeri, karena potensi pasar Indonesia sangat besar. Meskipun Indonesia tak mungkin mengerjakannya sendiri dan menggandeng investor luar, kata dia, perusahaan dalam negeri harus terlibat dalam industri mobil listrik.

"Kita punya bahan baku, dan hanya perlu kuasai teknologi pembuatan baterai listrik, kita bisa melakukannya secara bertahap," kata Fabby.

Fabby menekankan, perlu keberpihakan dari pemerintah agar mobil listrik bisa berkembang di masyarakat. Karena kalau tidak didorong maka pemakai kendaraan ramah lingkungan tersebut hanya untuk kalangan terbatas. Karena itu, agar ke depannya harga mobil listrik terjangkau, perusahaan pembuat baterai, termasuk PT Vale Indonesia, perlu diberi insentif.

"Kata kuncinya di baterai, karena harga mobil 40 persennya harga mobil dan menjadi komponen paling mahal. Kalau pemerintah bisa mendorong industri menciptakan baterai, artinya kita memberi nilai tambah besar kalau itu semua dikerjakan di dalam negeri," kata Fabby.

Dia melanjutkan, pemerintah perlu memiliki aturan jelas agar mendorong penggunaan mobil listrik menjangkau banyak pihak. Misalnya, hingga lima tahun ke depan, mobil dan motor listrik jumlahnya mencapai satu juta unit. Febby menyebut, jumlah penjualan mobil bisa tembus satu juta unit per tahun, dan motor sampai delapan juta per tahun.

Kalau 10 persennya saja bisa dialihkan untuk memakai kendaraan listrik maka penjualan baterai listrik juga ikut meningkat. Hal itu akan diikuti dengan penghematan pemakaian BBM, sehingga impor BBM bisa dikurangi.

"Karena itu pemerintah juga memikirkan populasi mobil listrik. Kalau tidak punya target, nanti dampak penurunan pemakaian BMM tidak terlalu signifikan. Sehingga tujuan utama mengurangi konsumsi BBM tidak tercapai," kata Fabby.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement