REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Imaduddin Abdullah menilai, pemerintah harus terus mencari sumber pendanaan dari kerja sama pembangunan untuk pembiayaan defisit APBN. Sebab, Indonesia memiliki banyak peluang untuk hal tersebut.
Imaduddin mengatakan, sebagai negara anggota dari berbagai organisasi pendanaan pembangunan, Indonesia memiliki hak untuk memanfaatkan sumber pendanaan dari lembaga-lembaga tersebut. "Seperti Bank Dunia, Asian Development Bank (ADB), maupun organisasi pembangunan lainnya," ujarnya dalam diskusi Indef, Ahad (25/8).
Pada level global pun, Imaduddin menambahkan, negara-negara pendapatan menengah juga masih mengambil manfaat dari pembiayaan dengan model kerjasama pembangunan. Menurut laporan Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (Organisation for Economic Co-operation and Development/ OECD), sekitar 11,52 miliar dolar AS bantuan pembangunan resmi (Official Development Assistance/ ODA) didistribusikan ke negara-negara pendapatan menengah atas pada 2017.
Apabila berkaca kepada negara-negara lain dengan status yang sama dengan Indonesia, maka Indonesia dapat mencari sumber pembiayaan ODA. Misalnya untuk membiayai program-program sosial dan lingkungan seperti Brasil yang banyak mendapatkan pembiayaan baik untuk lingkungan, pembangunan ekonomi wilayah, maupun pembangunan inklusif.
Negara lain yang juga sudah memanfaatkan bantuan serupa adalah Turki. Mereka mendapatkan banyak pembiayaan untuk isu daya saing dan penciptaan lapangan kerja, keadilan dan pelayanan sosial, maupun untuk isu pembangunan berkelanjutan.
Pada akhirnya, Imaduddin menekankan, pemerintah perlu secara hati-hati menetapkan strategi pembiayaan dan mempertimbangkan berbagai alternatif pembiayaan. Tujuannya, agar setiap hutang yang ditarik oleh pemerintah dapat memenuhi tiga faktor. "Yakni, dampak pengganda bagi ekonomi, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan tetap menjaga kesinambungan fiskal untuk jangka panjang," tuturnya.
Urgensi kerja sama pembangunan ini berdasarkan ruang fiskal Indonesia yang terbatas. Selama lima tahun ke depan, Imaduddin mencatat, total anggaran yang tersedia di APBN diperkirakan mencapai Rp 17.500 triliun. Di mana, 20 persen dan lima persen dari jumlah itu harus dialokasikan untuk pendidikan dan kesehatan, yakni masing-masing sebesar Rp 3.507 triliun dan Rp 875,4 triliun.
Tapi, Imaduddin menekankan, ruang fiskal sebesar Rp 3.009 triliun yang dimiliki oleh Indonesia sangatlah terbatas untuk membiayai berbagai program pembangunan. Apabila anggaran untuk infrastruktur diarahkan sebesar Rp 2.500 triliun sehingga setingkat dengan negara lain yang berstatus sama, maka hanya tersisa Rp 509,2 triliun.
"Ini untuk dimanfaatkan sektor lainnya selama lima tahun (2019-2024)," ujarnya.