REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktorat Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan menyatakan, insentif fiskal berupa pemangkasan pajak penghasilan (PPh) atas bunga obligasi yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) 55 Tahun 2019 juga berlaku untuk obligasi berbasis syariah atau Sukuk. Besaran pemangkasan pajak tidak dibedakan sehingga perlakuan insentif untuk berinvestasi di pasar surat utang sudah adil.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas, Direktorat Jenderal Pajak, Hestu Yoga Saksama menjelaskan, PP Nomor 55 Tahun 2019 tentang Pajak Penghasilan (PPh) atas Penghasilan Berupa Bunga Obligasi memang tidak spesifik menyebut obligasi konvensional ataupun syariah.
Namun, dalam PP Nomor 25 Tahun 2009 yang mengatur tentang kegiatan berbasis syariah menyatakan mutatis mutandis sehingga Sukuk telah tercakup dalam PP 5 Tahun 2019. "Aturan pemangkasan pajak juga menggunakan PP tersebut. Jadi insentif PPh atas bunga obligasi juga berlaku untuk Sukuk," kata Hestu kepada Republika.co.id, Ahad (25/8).
Sebagai informasi, pemangkasan PPh atas bunga obligasi yang ditetapkan pemerintah sebesar 10 persen. Dari semula PPh bunga Obligasi sebesar 15 persen dan 20 persen dipangkas menjadi 5 persen dan 10 persen.
Namun sebagai catatan, untuk Sukuk, insentifnya merupakan pemotongan PPh atas imbalan yang diterima dan bukan bunga. Sebab, Sukuk yang merupakan surat utang negara berbasis sitem syariah tidak mengenal sistem bunga.
Instrumen Sukuk yang imbalannya mendapat keringanan potongan pajak yakni Sukuk yang diperuntukkan untuk Kontrak Investasi Kolektik (KIK) baik untuk pembiayaan infrastruktur, real estate, efek beragun aset, maupun reksadana yang tercatat oleh Otoritas Jasa Keuangan. Hestu menegaskan, Sukuk telah mendapatkan fasilitasi insentif yang setara dengan surat utang negara konvensional.
"Penurunan tarif pajak ini dilakukan untuk meningkatkan peran KIK untuk menyerap obligasi dem mendorong pengembangan pasar keuangan di Indonesia," kata Hestu.
Direktur Peraturan Perpajakan II, Direktorat Jenderal Pajak, Yunirwansyah menambahkan, dengan perlakuan yang sama terhadap obligasi konvensional dan syariah, diharapkan PP Nomor 55 Tahun 2019 dapat meningkatkan peran serta produk syariah dalam pembangunan. Khususnya, pembangunan di bidang infrastruktur yang masih akan terus dibangung oleh pemerintah.
Selain itu, kata Yunirwansyah, lewat insentif PPh atas imbalan dari Sukuk, pendalaman sektor keuangan syariah di Indonesia bisa semakin berkembang. "Diharapkan fasilitas dalam PP 55 Tahun 2019 bisa meningkatkan peran pembiayaan syariah," katanya menambahkan.
Mengutip data Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS), akumulasi penerbitan Sukuk oleh negara kurun waktu 2008-2018 telah mencapai Rp 950,26 triliun. Pada tahun 2008 silam, nilai penerbitan Sukuk hanya Rp 4,7 triliun. Namun, di tahun 2018, nilai penerbitan sukuk melonjak menjadi Rp 192,49 triliun.
Instrumen Sukuk bahkan telah berkembang khusus untuk pembiayaan pembangunan ramah lingkungan berbasis syariah atau green sukuk. Instrumen tersebut telah diterbitkan pertama kali tahun 2018 dengan total nilai 1,25 miliar AS dari 146 investor. Pemerintah bahkan tengah mengkaji agar Green sukuk bisa masuk ke pasar ritel sehingga dapat dibeli investor individu.
Prospek positif industri keuangan syariah juga terjadi di pasar modal. Saat ini, lebih dari 400 emiten yang tercatat di Bursa Efek Indonesia telah menjadi saham syariah. Perkembangan-perkembangan itu menjadikan Indonesia saat ini menduduki posisi ke delapan dengan aset keuangan syariah terbesar di dunia.