Jumat 23 Aug 2019 12:27 WIB

BPK Ungkap Temuan Negatif Industri Perkebunan Sawit

Praktik negatif di industri perkebunan sawit berpotensi merugikan negara

Rep: Muhammad Nursyamsyi/ Red: Nidia Zuraya
Pekerja di perkebunan sawit, ilustrasi
Pekerja di perkebunan sawit, ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengundang sejumlah menteri terkait berbagai temuan BPK mengenai pengelolaan perkebunan kelapa sawit di Kantor BPK, Jakarta, Jumat (23/8). Dari Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan, Menteri ATR Sofyan Djalil hingga Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar hadir dalam pertemuan tersebut.

Anggota IV BPK Rizal Djalil mengatakan BPK telah menyelesaikan dan menyerahkan hasil audit tentang perkebunan kelapa sawit yang ada di seluruh Indonesia. Rizal menyampaikan, pendapatan negara dari minyak kelapa sawit mentah atau crude palm oil (CPO) sudah melampaui minyak dan gas bumi (migas).

Baca Juga

"Jadi, kelapa sawit merupakan sumber devisa penerimaan negara yang signifikan, sudah melampaui migas," ujar Rizal usai pertemuan tersebut.

Namun, kata Rizal, dalam proses pelaksanaan perkebunan sejak 1980-an hingga sekarang, masih terdapat berbagai persoalannya yang harus diselesaikan. Ada beberapa catatan yang menjadi sorotan BPK dalam praktik perkebunan sawit yang menyalahi aturan.

Pertama, terkait hak guna usaha yang belum dimiliki. Kedua, terkait plasma yang harusnya dibangun namun belum dibangun. Ketiga, terkait tumpang tindih usaha perkebunan dengan pertambangan. Keempat, ada beberapa usaha perkebunan yang juga menggarap kawasan di luar kawasan yang seharusnya dibudidayakan.

"Jadi, keluar dari izin yang diberikan pemerintah," ucap Rizal.

Kemudian, yang terakhir, lanjut Rizal, ada juga perusahaan yang melaksanakan perkebunan itu di atas hutan konservasi, hutan lindung, dan bahkan taman nasional.

"Itu adalah persoalan yang muncul. Saya terus terang tidak mau menyebut satu demi satu perusahaannya. Teman-teman tahu bahwa semua perusahaan-perusahaan ini terdaftar di bursa," kata Rizal.

Dari temuan itu, BPK sudah membuat rekomendasi dan telah diserahkan kepada pemerintah. Rizal mengusulkan pemerintah melibatkan Kapolri dan Kejagung lantaran dalam undang-undang kehutanan dan undang-undang perkebunan yang terkait dengan pidana.

"Saya berharap penyelesaian ini ada dua hal. Pertama, harapan BPK, tetap menjamin kepastian penerimaan negara harapan. Yang kedua, kalau pengusaha itu sudah mengikuti semua ketentuan jangan lagi sampai ada persoalan di belakang," ungkap Rizal.

Rizal mengatakan temuan ini hampir terjadi di seluruh wilayah yang terdapat industri perkebunan sawit, mulai dari Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Lampung Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat.

"Semua ada di situ, semua pemain besar, saya sudah tidak usah sebut. Jumlahnya itu jutaan hektar," kata Rizal.

Rizal enggan menyampaikan potensi kerugian negara yang diakibatkan praktik tersebut. Rizal juga tidak mau menyebutkan nama-nama perusahaan yang terlibat mengingat besarnya penerimaan negara dari sektor kelapa sawit.

"Anda lihat posisi penerimaan negara, dulu migas sekarang CPO. Makanya saya hati-hati tidak sebut satu per satu," kata Rizal menambahkan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement