Rabu 21 Aug 2019 17:21 WIB

Pemerintah Semakin Gencar Lakukan Relaksasi ke Dunia Usaha

Tax expenditure tercatat meningkat dari tahun ke tahun.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Friska Yolanda
Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam acara Seminar Nasional Nota  Keuangan RAPBN 2020 di Gedung DPR/ MPR, Jakarta, Rabu (21/8)
Foto: Republika/Adinda Pryanka
Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam acara Seminar Nasional Nota Keuangan RAPBN 2020 di Gedung DPR/ MPR, Jakarta, Rabu (21/8)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat pajak dari Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Bawono Kristiaji menilai, langkah pemerintah yang secara rutin menyampaikan informasi terkait belanja perpajakan atau tax expenditure patut diapresiasi. Langkah tersebut dapat dilihat sebagai bagian dari transparansi fiskal. Khususnya, dari sisi sejauh mana pemerintah telah memberikan 'subsidi' melalui sistem pajak.

Dalam laporan tax expenditure, Bawono menilai, pemerintah semakin gencar melakukan relaksasi kepada dunia usaha, termasuk melalui insentif. Hal ini terlihat dari kenaikan alokasi tax expenditure dari tahun ke tahun. Hanya saja, pemerintah tetap harus memperhatikan efektivitasnya terhadap perekonomian. 

Baca Juga

"Hal yang perlu untuk diberi catatan adalah bagaimana efektivitas dari belanja perpajakan yang sudah mencapai 1,5 persen dari PDB (Produk Domestik Bruto) itu," ujarnya ketika dihubungi Republika.co.id, Rabu (21/8). 

Artinya, Bawono menekankan, pemerintah harus melakukan evaluasi mengenai dampak dari berbagai keringanan terhadap apa yang menjadi tujuannya. Laporan belanja perpajakan ada baiknya tidak berhenti pada upaya estimasinya, namun juga melihat efektivitas masing-masing komponen keringanan yang diberikan. Misalnya, dalam rangka mendorong ekonomi domestik.

Melalui analisis efektivitas tersebut, Bawono mengatakan, pemerintah dapat memetakan kebijakan di kemudian hari. "Termasuk, keringanan mana yang perlu dilanjutkan atau tidak," ujarnya.

Dalam data Kementerian Keuangan (Kemenkeu), estimasi belanja perpajakan pada 2018 dalam nota keuangan tercatat mencapai Rp 221,1 triliun atau sekitar 1,5 persen terhadap PDB. Nilai tersebut naik sekitar 12,3 persen dari estimasi 2017, yakni Rp 196,8 triliun atau sekitar 1,45 persen terhadap PDB. Sedangkan, belanja perpajakan pada 2016 hanya Rp 192,6 triliun atau 1,55 persen terhadap PDB. 

Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu Suahasil Nazara menjelaskan, tax expenditure menggambarkan besaran penerimaan pajak yang seharusnya dapat diambil oleh pemerintah, namun tidak jadi dikumpulkan karena sejumlah pengecualian. Misal, suatu perusahaan beroperasi di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) dan meminta pajaknya lebih kecil dibanding dengan di luar KEK.

"Apabila disetujui dalam regulasi, pengusaha itu dapat insentif dan kita masukkan besarannya ke sini (tax expenditure)," katanya dalam acara Seminar Nasional Nota Keuangan RAPBN 2020 di Gedung DPR/ MPR, Jakarta, Rabu (21/8). 

Suahasil menyebutkan, pemerintah memang berniat membawa angka tersebut menjadi pertanyaan publik. Termasuk untuk mempertanyakan seberapa besar manfaat dan dampak yang dihasilkan dari belanja perpajakan pemerintah. Oleh karena itu, ia mengajak seluruh pemangku kepentingan terkait untuk melakukan kajian mengenai hal ini. 

Tapi, Suahasil optimistis, besaran Rp 221 triliun yang masuk dalam tax expenditure sepanjang 2018 sudah beredar dalam perekonomian domestik. Baik itu dalam bentuk konsumsi maupun investasi ketika dunia usaha tidak jadi membayar pajak atau membayar dengan jumlah yang lebih kecil pasca insentif.

"Kita ingin sekali mengundang kajian supaya lebih menelisik belanja perpajakan yang kita keluarkan ini," ucapnya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement