REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hasil riset kolaborasi antara Institute for Development of Economic and Finance (Indef) dengan Laboratorium Data Persada menunjukkan, seluruh sektor ekonomi telah merasakan manfaat teknologi digital. Oleh karena itu, ekonomi digital tidak lagi terbatas pada satu sektor saja. Direktur Riset Indef Berly Martawardaya menjelaskan, manufaktur menjadi sektor yang mendapatkan nilai tambah tertinggi dari ekonomi digital. Pada 2018, nilainya mencapai Rp 100 triliun atau 7,1 miliar dolar AS.
"Nilai ini lebih besar dibandingkan transportasi, gudang dan komunikasi (Rp 84,2 triliun)," ujarnya saat memberikan paparan di acara Pasar IDEA di Jakarta, Kamis (15/8).
Berly mengatakan, dampak tersebut terbilang di luar prediksi. Banyak orang berpikiran, dampak ekonomi digital terbesar adalah ke sektor transportasi mengingat industri ride hailing dan ride sharing yang tumbuh pesat di Indonesia.
Namun, Berly menuturkan, perlu diingat peningkatan kebutuhan masyarakat terhadap jasa transportasi online pasti memberikan efek pada kenaikan permintaan motor dan mobil di industri manufaktur. Besarnya nilai tambah ekonomi digital ke kegiatan manufaktur memberikan indikasi positif. Ini menunjukkan bahwa dampak digitalisasi memiliki jangkauan luas di sepanjang supply chain (rantai pasokan).
"Semakin banyak orang mengakses internet dan terlibat di ekonomi digital, semakin besar pula proses perakitan produk di dalam negeri," tutur Berly.
Hasil riset juga menunjukkan, produk lokal yang paling banyak dibeli melalui kegiatan ekonomi digital adalah perabotan rumah. Nilainya sepanjang 2018 mencapai Rp 54,7 triliun. Sebanyak Rp 38,3 triliun di antaranya atau 70 persen dari total merupakan produksi dalam negeri yang juga terjual ke pasar domestik.
Secara total, Berly mengatakan, sebanyak 25,9 persen dari produk yang ditransaksikan di e-commerce merupakan buatan dalam negeri. Ini mengindikasikan, masih banyak peluang produsen lokal untuk memanfaatkan akses ekonomi digital.
“Termasuk dengan meningkatkan kemampuan industri untuk menghasilkan barang dan jasa yang memang dibutuhkan pasar,” katanya.
Tidak hanya secara sektoral, Peneliti Laboratorium Data Persada Bastian Zaini menjelaskan, manfaat ekonomi digital juga merata dari sisi penggunanya. Pertumbuhan akses internet dalam lima tahun terakhir semakin merata.
"Ini mendorong partisipasi kelompok penduduk marjinal dalam ekonomi digital," katanya.
Dalam enam tahun terakhir, masyarakat termiskin di Indonesia mengalami pertumbuhan akses internet enam kali lipat. Mereka juga berkontribusi terhadap enam persen jumlah transaksi ekonomi digital pada 2018. Dalam tahun yang sama, 12 persen transaksi ekonomi digital dilakukan penduduk wilayah timur Indonesia.
Inklusivitas ekonomi digital juga tampak dari gender. Bastian menjelaskan, partisipasi perempuan meningkat yang ditandai adanya 36 persen pedagang perempuan, lebih tinggi dua kali lipat dari angka sebelumnya menurut Women Entrepreneur Index 2018.
"Artinya, peran ekonomi digital kita semakin inklusif," tuturnya.
Bastian menuturkan, penelitian ini menunjukkan, perbaikan infrastruktur keras dan lunak perlu menjadi prioritas pemerintah. Di antaranya, akses internet patut ditingkatkan dari total 36 persen jumlah penduduk Indonesia di tahun 2018.
Selain itu, infrastruktur lunak seperti talenta, keterampilan digital dan akses ke keuangan juga perlu dibangun. Tujuannya, agar selaras dengan peningkatan kesempatan ekonomi yang muncul dari teknologi digital.
Tidak kalah pentingnya, regulasi ekonomi digital harus bersifat holistik dan berorientasi pada pertumbuhan yang inklusif dan berkelanjutan. "Ini harus jadi prioritas dibandingkan berfokus pada perbaikan jangka pendek," kata Bastian.