REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Harga minyak turun lebih dari satu persen pada akhir perdagangan Kamis (15/8), memperpanjang penurunan tiga persen sesi sebelumnya. Harga minyak tertekan oleh meningkatnya kekhawatiran resesi dan peningkatan mengejutkan dalam persediaan minyak mentah Amerika Serikat.
Tanda kekhawatiran investor bahwa ekonomi terbesar dunia itu mungkin menuju resesi membebani permintaan minyak. Ancaman Cina untuk mengenakan tindakan balasan sebagai balasan atas tarif terbaru AS terhadap 300 miliar dolar AS barang-barang Cina juga membebani harga minyak.
Minyak mentah Brent untuk pengiriman Oktober kehilangan 1,25 dolar AS menjadi ditutup pada 58,23 dolar AS per barel di London ICE Futures Exchange. Minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman September turun 0,76 dolar AS menjadi menetap pada 54,47 dolar AS per barel di New York Mercantile Exchange.
"Minyak semakin terpukul karena penghindaran risiko kembali muncul dan kekhawatiran akan perang dagang menimbulkan perlambatan pada para pedagang," kata Craig Erlam, analis pasar senior di OANDA.
Harga Brent masih naik 10 persen tahun ini berkat pemotongan pasokan yang dipimpin oleh Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan sekutu seperti Rusia, sebuah kelompok yang dikenal sebagai OPEC+. Pada Juli, OPEC+ setuju untuk memperpanjang penurunan produksi minyak hingga Maret 2020 guna menopang harga.
Namun upaya OPEC+ telah dikalahkan oleh kekhawatiran tentang ekonomi global di tengah-tengah sengketa perdagangan AS dan China dan Brexit. Selain itu, meningkatnya stok minyak mentah AS dan produksi yang lebih tinggi juga mengalahkan segala upaya OPEC+.
"Pasar menjadi sangat cemas tentang pertumbuhan global," kata Tamas Varga dari broker minyak PVM.