REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah diminta segera mengeluarkan peraturan teknis pelaksanaan untuk mendukung Instruksi Presiden No. 8/2018 tentang moratorium izin baru perkebunan kelapa sawit. Sebab, selama ini aturan tersebut dianggap multi interpretasi.
Praktisi hukum perkebunan dari Dentons HPRP Maurice Situmorang mengatakan adanya peraturan teknis pelaksanaan diharapkan dapat memberi kepastian hukum bagi para pelaku industri kelapa sawit nasional.
“Moratorium sawit yang ditetapkan pemerintah, selain memfasilitasi survei produksi sawit nasional, juga dalam rangka merangkul keinginan Uni Eropa untuk memastikan bahwa produksi sawit dalam negeri sustainable,” ujarnya kepada Republika, Jumat (9/8).
Menurutnya peraturan ini juga dapat menjadi amunisi pemerintah melawan langkah Uni Eropa yang berusaha membatasi impor minyak kelapa sawit dari Indonesia. Sekaligus menerapkan cukai cukup besar kepada para eksportir minyak sawit dari Indonesia dengan menunjukkan sikap tegas dalam upaya menjadikan industri perkebunan sebagai industri yang berkelanjutan.
“Memang dari segi volume pasar Eropa tidak sebesar pasar Tiongkok atau India. Namun jika kita berbicara mengenai market, kita tidak hanya mau menjual produk ke India dan Tiongkok saja. Kita mau hasil produksi kelapa sawit Indonesia dapat dipasarkan ke seluruh negara tanpa ada perbedaan atau diskriminasi ” kata Maurice.
Saat ini pemerintah Indonesia tengah berupaya menuntut Uni Eropa ke World Trade Organization (WTO) atas tindakannya merancang kebijakan bertajuk Delegated Regulation Supplementing Directive of The EU Renewable Energy Directive II yang diajukan oleh Komisi Eropa pada 13 Maret 2019. Kebijakan ini mengklasifikasikan minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil/CPO) sebagai produk yang tidak berkelanjutan dan memiliki resiko tinggi.
Kebijakan ini berpotensi menghambat masuknya CPO dari Indonesia ke Eropa. Selain itu, Uni Eropa juga menerapkan Bea Masuk Imbalan Sementara (BMIS) terhadap impor biodiesel dari Indonesia terkait dugaan subsidi pada produk sawit. Besarannya berkisar antara 8-18 persen dan dijadwalkan mulai berlaku 6 September 2019.
“Saya tidak setuju dengan tuduhan Uni Eropa itu. Dana Badan Pengelola Dana Perkebunan – Kelapa Sawit (BPDP-KS), salah satunya berasal dari pungutan pemerintah ke para pengusaha sawit yang melakukan kegiatan ekspor. Pungutan itu kemudian dikelola dalam suatu wadah yang bertujuan untuk mengembangkan industri sawit nasional, sehingga menjadi salah kaprah kalau itu disebut atau dikategorikan sebagai bentuk subsidi, seperti yang dituduhkan,” jelas Maurice.