REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- PT Pertamina (Persero) terus melakukan penanganan tumpahan minyak (oil spill) akibat kebocoran proyek Hulu Energi sumur YYA-1 Blok Offshore North West Java (ONWJ) milik Pertamina di pesisir pantai utara Karawang, Jawa Barat (Jabar).
VP Corporate Communication PT Pertamina (Persero) Fajriyah Usman mengatakan Pertamina Hulu Energi (PHE) ONWJ sudah mulai melakukan tajak pengeboran Relief Well YYA-1 menggunakan Rig Jack Up sejak Ahad (4/8). Fajriyah menjelaskan, proses relief well bertujukan mematikan atau menutup sumur yang menjadi penyebab kebocoran dengan melakukan drilling secara directional atau dari samping.
Menurut Fajriyah, PHE ONWJ menggandeng perusahaan berpengalaman asal Amerika Serikat (AS), Boots & Coots, yang memiliki pengalaman menangani hal yang sama antara lain seperti di Teluk Meksiko.
"Kita gunakan Boots & Coots bukan berarti skala (kebocoran) sama (dengan Teluk Meksiko). Menurut skala, (kebocoran ONWJ) hanya 0,01 persen dari Teluk Meksiko, tapi kita ingin penanganan yang terbaik," ujar Fajriyah kepada Republika.co.id di Jakarta, Selasa (6/8).
Mengenai penanganan tumpahan minyak yang menyebar hingga ke Kepulauan Seribu, DKI Jakarta, Pertamina berusaha mengejar dengan mengambil tumpahan minyak tersebut.
"Kita kejar ke mana pun minyak mengalir," kata Fajriyah.
Fajriyah menyampaikan, Pertamina memprioritaskan penanganan di offshore atau laut. Dengan begitu, dampak pada onshore atau daratan akibat tumpahan minyak bisa diminimalisir.
Fajriyah menyebut, tumpahan minyak yang menyebar hingga ke Kepulauan Seribu terjadi saat awal-awal peristiwa kebocoran di mana belum ada oil boom atau peralatan yang digunakan untuk melokalisir atau mengurung tumpahan minyak di air.
"Awal-awal, kita belum ada (static) oil boom," kata Fajriyah.
Saat awal kebocoran, PHE ONWJ mengerahkan kapal-kapal yang membawa oil boom untuk mengangkut tumpahan minyak. Kondisi tersebut mengakibatkan adanya tumpahan minyak yang luput dari pantauan mengingat keterbatasan alat pengangkut minyak.
Oleh karenanya, PHE ONWJ, mengubah strategi dengan menerapkan tujuh lapis proteksi di sekitar daerah terdampak, di mana pada lapis pertama dipasang static oil boom di sekitar anjungan YYA-1 sepanjang 3.500 meter untuk menahan tumpahan minyak dalam lingkungan anjungan.
"Sekarang static oil boom sudah tiga per empat melingkari anjungan," ucap dia.
Pada lapis kedua, PHE ONWJ juga memasang moveable oil boom sepanjang 2x200 meter untuk menghadang ceceran minyak dari lapis 1 yang masih belum tertahan sepenuhnya.
Mengenai kompensasi terhadap masyarakat yang terdampak tumpahan minyak, Fajriyah menyampaikan Pertamina menunggu surat keputusan (SK) dari kepala daerah wilayah terdampak. Nantinya, dalam SK tersebut tertuang besaran kompensasi dan data warga terdampak yang berhak menerima kompensasi.
"Kita juga tidak bisa bayar kalau tidak ada kesepakatan berapa ini yang harus dibayar ke masyarakat," katanya.
Fajriyah menambahkan, saat ini sudah terbentuk tim yang mengurusi soal kompensasi dengan struktur di mana sekretaris daerah (sekda) sebagai ketua, dan diisi juga oleh ahli bidang lingkungan hidup, perikanan, kesehatan, hingga kelompok masyarakat terdampak. Pertamina berharap formula tentang data dan besaran kompensasi segera dikeluarkan pemerintah daerah agar Pertamina segera membayar kompensasi.
"Bukan berarti kita tidak mau membayar, dibilang kok sampai sekarang belum dibayar sih kompensasi, duit mah sudah siap lah Pertamina, tinggal persoalannya, yang disampaikan ke masyarakat sudah belum, itu kan harus berdasarkan kesepakatan semua pihak dan harus diketahui negara," ungkap Fajriyah.