Rabu 31 Jul 2019 16:37 WIB

Menkeu: Kenaikan Iuran BPJS Harus Diiringi Perbaikan Sistem

BPJS Kesehatan mengalami defisit kronis yang semakin dalam setiap tahun.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Nidia Zuraya
BPJS Kesehatan.
Foto: Republika/Yasin Habibi
BPJS Kesehatan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menilai, opsi kenaikan iuran peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dapat menjadi solusi dalam menambal defisit yang terus terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Hanya saja, kenaikan tarif harus diiringi dengan perbaikan BPJS Kesehatan di semua aspek.

Sri menyebutkan, poin yang harus dievaluasi antara lain kepesertaan, sistem tagihan hingga sistem rujukan antara puskesmas dengan rumah sakit. Kemudian, pemerintah daerah (pemda) pun harus melakukan evaluasi terhadap manajemen tagihan dan meningkatkan peranan dalam pengelolaan sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Baca Juga

"Begitupun dari sisi policy manfaat," tutur Sri ketika ditemui di daerah Sudirman, Jakarta, Rabu (31/7).

Sebelumnya, Sri mengatakan, kenaikan tarif peserta BPJS Kesehatan bukan tanpa dasar. Pasalnya, salah satu pondasi paling penting dalam keberlangsungan BPJS Kesehatan adalah keseimbangan antara besaran tarif yang dipungut untuk berbagai segmen peserta BPJS. Pandangan ini juga sudah dibicarakan di hadapan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (29/7).

Sri menjelaskan, peserta BPJS memiliki ragam pekerjaan yang harus menjadi pertimbangan menentukan tarif. Ada kelompok Aparatur Sipil Negara (ASN), TNI/ Polri dan swasta yang dihitung berdasarkan take home pay. Kemudian, ada juga masyarakat umum yang berasal dari non penerima upah tetap.

"Semua harus dilihat profil risikonya dan berapa mereka harus membayar tarifnya," ucapnya di Gedung Bank Indonesia, Selasa (30/7).

Selama ini, Sri menilai, sistem BPJS Kesehatan masih menimbulkan ketidakcocokan atau mismatch antara besaran iuran yang dipungut dengan manfaat tidak terbatas yang diberikan kepada peserta. Dampaknya, BPJS Kesehatan mengalami defisit kronis yang semakin dalam setiap tahun.

Dalam hal ini, Sri mengatakan, BPJS Kesehatan bersama Kementerian Kesehatan (Kemenkes) harus bersama-sama sepakat menyeimbangkan tarif dengan manfaat. Upaya ini diharapkan mampu menjaga keberlangsungan kinerja rumah sakit, farmasi dan BPJS Kesehatan sendiri dapat sustainable dalam menjalankan JKN.

Sri menjelaskan, pemerintah juga meminta BPJS Kesehatan untuk membangun sistem yang dapat menghalangi kemungkinan fraud-over-claim. Termasuk sistem akuntansi BPJS Kesehatan dalam menangani tagihan yang belum tertagih.

"Ini juga salah satu temuan BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan)," katanya.

Dari segi peserta, Sri menambahkan, BPJS Kesehatan dan Kemenkes juga harus melakukan evaluasi. Khususnya dalam menentukan kategori peserta yang harus dibayarkan pemerintah melalui Penerima Bantuan Iuran (PBI). Evaluasi dapat dilakukan melalui tingkat kepatuhan mereka terhadap iuran per bulan.

Selama ini, Sri menyebutkan, kelompok dengan tingkat kepatuhan cukup baik adalah swasta. Sedangkan, tingkat kepatuhan yang masih sangat rendah adalah peserta dari pekerja dengan upah tidak tetap atau pekerja informal.

Kategori ini menimbulkan defisit sangat besar karena hanya menjadi peserta ketika sakit saja. "Dampaknya, menimbulkan defisit dalam penyelenggaraan," ujarnya.

Sri memastikan, Kemenkeu melalui APBN siap membayar selisih iuran BPJS Kesehatan. Kebijakan ini sudah dilakukan setiap tahun, termasuk terhadap TNI dan Polri. Bahkan, selama tiga sampai empat tahun berturut-turut, Kemenkeu memberikan tambahan injeksi kepada BPJS di luar PBI.

Tapi, Sri menekankan, langkah tersebut harus dilihat sebagai trigger atau pemicu terhadap perbaikan sistem. Ia berharap, BPJS Kesehatan tidak tergantung terhadap APBN apabila terjadi defisit karena motivasi untuk memperbaiki sistem dapat terus menurun.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement