REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sepanjang enam bulan pertama 2019, Bank Indonesia mencatat nilai tukar rupiah menguat sebesar 2,64 persen. Penguatan ini didorong oleh terjaganya defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD).
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan penguatan rupiah juga didorong masuknya investasi asing ke Indonesia. “Secara tahun kalender, rupiah telah terapresiasi 2,64 persen dan nilai tukar rupiah bergerak stabil, cenderung menguat,” ujarnya kepada wartawan di Jakarta, Rabu (31/7).
Menurutnya sejumlah indikator perekonomian nasional tetap terjaga dengan baik. Tercatat inflasi tetap rendah kisaran 3,2 persen secara bulanan.
“Kami memperkirakan inflasi hingga akhir tahun lebih rendah dari titik tengah 3,5 persen plus minus satu persen,” jelasnya.
Perry menyebut stabilitas nilai rupiah dan inflasi yang tetap terjaga, seluruh kebijakan Bank Indonesia akan diarahkan untuk mendukung momentum pertumbuhan ekonomi. Di samping itu, Sistem Kliring Nasional Bank Indonesia (SKNBI) juga akan dibuat lebih murah, cepat, dan besar. Per 1 September, SKNBI yang awalnya di-settle dari lima kali sekarang menjadi sembilan kali.
“Dari jumlahnya Rp 500 juta nanti bisa sampai Rp 1 miliar dan biayanya dari Rp 5.000 diturunkan jadi Rp 3.500 untuk memudahkan," ungkapnya.
Selain itu, persepsi positif terhadap prospek ekonomi Indonesia makin baik, termasuk pasca peningkatan sovereign rating Indonesia oleh Standard and Poor’s (S&P), serta berkurangnya ketidakpastian pasar keuangan global sejalan prakiraan kebijakan moneter global yang lebih longgar.
“Ke depan, Bank Indonesia memandang nilai tukar rupiah akan bergerak stabil sesuai dengan mekanisme pasar yang tetap terjaga. Untuk mendukung efektivitas kebijakan nilai tukar dan memperkuat pembiayaan domestik, Bank Indonesia terus mengakselerasi pendalaman pasar keuangan, baik di pasar uang maupun valas,” ucapnya.