Ahad 28 Jul 2019 20:42 WIB

YLKI: Pengawasan dan Penindakan Pelanggaran Fintech Minim

Mayoritas kasus fintech yang dilaporkan ke YLKI adalah mengenai pembayaran pinjaman

Rep: Imas Damayanti/ Red: Nidia Zuraya
Fintech Lending. Ilustrasi
Foto: Google
Fintech Lending. Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Maraknya kasus pengaduan layanan pinjaman online melalui perusahaan financial technology (fintech) dinilai Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) sebagai minimnya pengawasan serta penindakan pemerintah terhadap pelaku. Sepanjang Januari-Juli 2019, YLKI menerima 20 laporan terkait kesewenang-wenangan fintech terhadap konsumen.

Koordinator Pengaduan dan Hukum YLKI, Sularsi mengatakan, mayoritas kasus pengaduan fintech yang dilaporkan kepada YLKI adalah mengenai pembayaran pinjaman yang telat konsumen sehingga berujung pada intimidasi. Menurut dia, intimidasi yang diterima konsumen saat ini sudah berada di luar level kepatutan.

Baca Juga

“Bentuk intimidasinya macam-macam, ada (konsumen) yang dipermalukan ke relasinya. Penyalahgunaan data konsumen ini yang rawan,” kata Sularsi saat dihubungi Republika, Ahad (28/7).

Dari jumlah laporan yang diterima YLKI, kata dia, hampir sebagian besar pengaduan tersebut bersangkutan dengan fintech ilegal atau yang tidak terdaftar di Otoritas Jasa Keangan (OJK). Artinya, kata dia, peran pengawasan pemerintah terkait munculnya fintech-fintech ilegal sangat minim.

Di sisi lain, dia juga tidak bisa membenarkan tindakan konsumen yang telat maupun tidak membayar pinjaman yang telah diterima. Meski begitu dia menilai, beberapa faktor yang merugikan konsumen kerap diterima lantaran sistem pinjaman yang tak masuk akal. Misalnya, konsumen dikenakan bunga tanpa batas maksimum hingga tenor pinjaman yang singkat berkisar 7 hari-1 bulan saja.

“Jadi literasi kepada konsumen ini juga perlu diperhatikan pemerintah,” kata dia.

Terkadang, dia menyatakan, beradasarkan pengaduan yang diterima, banyak para konsumen yang hanya menerima pinjaman jauh lebih rendah dibandingkan pengajuan yang diterima tanpa diberikan informasi secara menyeluruh.

“Misalnya dia (konsumen) pinjam Rp 1,5 juta, ternyata yang dia terima hanya Rp 800 ribu. Nah ini tidak ada pemberitahuan sebelumnya,” kata dia.

Secara keseluruhan, Sularsi menyayangkan peran pemerintah dalam mengatur dan mengawasi perusahaan fintech. Sebab berdasarkan temuannya, tak sedikit para korban fintech yang mendapatkan intimidasi penagihan utang hingga kasus yang berujung pelecehan seksual.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement