Jumat 26 Jul 2019 15:41 WIB

Menperin Tegaskan tak Ada Rembesan Garam Impor ke Pasar

Garam konsumsi masih akan dipenuhi oleh industri garam nasional, bukan dari impor.

Rep: Imas Damayanti/ Red: Friska Yolanda
Petani memanen garam di Kawasan Penggaraman Talise, Palu, Sulawesi Tengah, Senin (13/5/2019). Tingginya permintaan garam pada bulan Ramadhan membuat petani garam konvensional di tempat tersebut memacu produksinya, dan saat ini harga garam di tempat tersebut berkisar Rp 150 ribu perkarung.
Foto: ANTARA FOTO/Mohamad Hamzah
Petani memanen garam di Kawasan Penggaraman Talise, Palu, Sulawesi Tengah, Senin (13/5/2019). Tingginya permintaan garam pada bulan Ramadhan membuat petani garam konvensional di tempat tersebut memacu produksinya, dan saat ini harga garam di tempat tersebut berkisar Rp 150 ribu perkarung.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto mengungkapkan, saat ini tidak ada rembesan garam impor ke pasar. Sebab, garam yang diimpor oleh produsen adalah untuk diolah dan dijadikan bahan baku bagu produk industri tertentu yang bernilai tambah tinggi. 

Adapun produk jadinya itu antara lain alkali, PVC, hingga infus. Dia menyebut, harga garam industri jauh lebih mahal dibandingkan garam lokal. Sehingga, menurutnya, tak ada kemungkinan bagi importir atau perusahaan yang menggunakan garam untuk kebutuhan industri ke pasar. 

“Bagi mereka tidak ada insentifnya untuk jual ke pasar karena mahal. Jadi nggak ada garam yang rembas ke pasar," kata Airlangga dalam keterangan pers, Jumat (26/7). 

Pihaknya memastikan, garam konsumsi masih akan dipenuhi oleh industri garam nasional. Meski hingga saat ini garam yang mendekati kualitas tinggi diklaim sudah mulai banyak terserap oleh industri. Airlangga menegaskan, pihaknya saat ini mendorong peningkatan kualitas garam lokal dan penyerapan pasokan yang tersedia terlebih dahulu.

Pemerintah masih berupaya mendorong perbaikan kualitas garam produksi dalam negeri agar dapat meningkatkan nilai tambah guna menjaga fluktuasi harga di tingkat petani. Oleh karena itu, salah satu upaya yang akan dilakukan adalah mengklasifikasikan garam sebagai komoditas penting. 

“Kalau kita masukkan garam ke barang penting, kita bisa tentukan harga eceran terendah,” kata dia. 

Menperin menyebutkan, peningkatan kualitas produksi garam lokal bakal ditopang melalui perbaikan infrastruktur dari dan menuju lokasi tambak garam. Hal ini untuk mempercepat laju distribusi. Contohnya, pembenahan jalan dari kawasan tambak ke jalur transportasi utama. 

Dia mendorong aksesibilitas dari area tambak ke jalur utama agar lebih diperhatikan. Sehingga infrastruktur petani garam ke depannya dapat diperbaiki. Saat ini pemerintah fokus untuk terus memacu kualitas garam rakyat. Meski dia mengakui, sektor industri memang membutuhkan garam berkualitas tinggi, terutama untuk industri berorientasi ekspor.

Adapun kualitas garam yang digunakan oleh industri tidak hanya terbatas pada kandungan natrium klorida (NaCl) yang tinggi, yakni minimal 97 persen. Namun, masih ada kandungan lainnya yang harus diperhatikan seperti Kalsium dan Magnesium dengan maksimal 600 ppm serta kadar air yang rendah. 

Standar kualitas tersebut yang dibutuhkan industri aneka pangan dan industri chlor alkali plan (soda kostik). Sedangkan garam yang digunakan oleh industri farmasi untuk memproduksi infus dan cairan pembersih darah, harus mengandung NaCl 99,9 persen. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement