Senin 08 Jul 2019 17:08 WIB

Mengapa Ekonomi Indonesia Sulit Tumbuh di Atas 5,3 Persen?

Ekonomi Indonesia pada 2018 lalu tumbuh 5,17 persen.

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Nidia Zuraya
Pertumbuhan Ekonomi (ilustrasi)
Foto: Republika/Wihdan
Pertumbuhan Ekonomi (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Bambang Brodjonegoro menyebutkan bahwa perputaran roda ekonomi nasional yang optimal hanya mampu mengerek pertumbuhan ekonomi ke angka 5,3 persen. Sederhananya, perekonomian nasional selama ini sulit tembus ke level 5,3 persen.

Hal ini sejalan dengan capaian pertumbuhan ekonomi dalam beberapa tahun terakhir yang belum bisa melejit tinggi. "Kami melakukan kajian di mana tahun 2019 ini ternyata tingkat pertumbuhan optimal kita, maksimal kalau kita melakukan segala sesuatunya secara 100 persen, itu hanya 5,3 persen (tumbuhnya). Jadi sulit sekali untuk tumbuh di atas 5,3 persen," ujar Bambang usai menghadiri sidang kabinet di Istana Kepresidenan Bogor, Senin (8/7).

Baca Juga

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, ekonomi Indonesia pada 2018 lalu tumbuh 5,17 persen. Angka tersebut lebih tinggi ketimbang pertumbuhan pada 2017, 2016, dan 2015 berturut-turut yakni 5,07 persen, 5,02 persen, dan 4,79 persen. Bahkan bila merunut ke belakang, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sempat menyampaikan optimismenya bahwa ekonomi nasional mampu tumbuh 7 persen.

Lantas mengapa roda perekonomian Indonesia cukup sulit berputar cepat demi mewujudkan pertumbuhan di atas 5,3 persen?

Bambang Brodjonegoro menyebutkan, hambatan utama pertumbuhan ekonomi nasional adalah regulasi dan institusi. Dua hal ini memang menjadi masalah klasik yang menjerat pertumbuhan ekonomi nasional.

Masalah regulasi, maksud Bambang, adalah aturan-aturan baik di kementerian atau lembaga yang menghambat aktivitas ekonomi. Ia memberi contoh, pengurusan administrasi kepabeanan untuk ekpsor yang memakan waktu rata-rata 4,5 hari.

Lama waktu mengurus administrasi ekspor di Indonesia masih jauh lebih tinggi ketimbang Vietnam dan Thailand yang hanya 2 hari. "Lalu institusi, artinya birokrasi pemerintahan masih dianggap belum cukup andal untuk bisa memudahkan investasi maupun melancarkan di sektor perdagangan itu," ujar Bambang.

Melihat kenyataan yang ada, Bappenas akhirnya mengajukan tiga skenario kepada Presiden Jokowi terkait target pertumbuhan ekonomi dalam lima tahun ke depan. Skenario pertama disebut skenario dasar dengan angka pertumbuhan 5,4 persen per tahun.

Sementara skenario selanjutnya adalah moderat dengan angka pertumbuhan 5,7 persen per tahun dan skenario optimis dengan angka 6 persen per tahun.

Demi menuju skenario moderat dan optimistis tentu berat. Bambang menyebut, mewujudkan skenario dasar saja memaksa pemerintah harus benar-benar memangkas selurh ganjalan yang ada, terutama soal regulasi dan institusi.

"Intinya kita baru bicara naikkan pertumbuhan ke 5,4 persen dari 5,3 persen. Itu saja sudah membutuhkan tadi. Kita harus membereskan dulu masalah yang paling berat yaitu masalah regulasi dan institusi," kata Bambang.

Selain itu, pemerintah juga masih punya pekerjaan rumah (PR) untuk menaikkan peringkat ease of doing bussiness (EoDB) atau kemudahan memulai usaha. EoDB di Indonesia, menurut Bappenas, masih 19 hari. Angka ini masih jauh lebih lama dibanding negara-negara lain di Asia Tenggara.

Presiden Jokowi pun meminta seluruh menteri ekonomi untuk mencari solusi. Intinya, ujar Bambang, adalah semangat kepada seluruh kementerian dan lembaga untuk menyederhanakan aturan terkait dorongan ekspor dan investasi.

"Poinnya itu sehingga Presiden mengulangi lagi apa instruksi yang sudah disampaikan berkali-kali terutama kepada beberapa kementerian," kata Bambang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement