Senin 08 Jul 2019 15:36 WIB

BPRS Turunkan Rasio Kredit Macet

Kredit macet terbesar di BPRS berasal dari sektor perdagangan

Rep: Lida Puspaningtyas/ Red: Nidia Zuraya
Kredit macet (ilustrasi)
Foto: Republika/Prayogi
Kredit macet (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Kompartemen Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) nasional berhasil menurunkan rasio kredit macet atau NPF. Ketua Kompartemen BPRS Asbisindo, Cahyo Kartiko menyampaikan non performing finance (NPF) turun dari 9,02 persen menjadi 8,71 persen per data terbaru Maret 2019.

"Strateginya kami lakukan perbaikan yang memang sifatnya per kasus, ada penyelamatan pembiayaan temporer dan jangka panjang, juga write off," kata dia.

Baca Juga

Cahyo mengatakan NPF terbesar berasal dari sektor perdagangan. Sehingga BPRS juga melakukan upaya preventif seperti pendampingan pada pedagang agar pembayarannya tidak macet.

Untuk sejumlah nasabah, BPRS melakukan restrukturisasi agar pelan-pelan nasabah memperbaiki tingkat keuangannya. Selain itu, NPF bisa membaik juga karena kualitas pembiayaan trennya terus membaik.

Hingga saat ini aset BPRS mencapai Rp 12 triliun dengan target pertumbuhan sekitar 15 persen. Sehingga tahun depan diharapkan aset BPRS bisa menjadi sekitar Rp 13-14 triliun.

Kinerja pembiayaan tetap tumbuh meski kondisi ekonomi terbilang sulit yakni sebesar 15 persen. Per Maret 2019, pembiayaan meningkat jadi Rp 9,3 triliun secara tahunan (year on year) dari Rp 8 triliun.

"Pembiayaan didominasi di usaha perdagangan, karena di UMKM ini masih jadi target market kami," kata dia di Bogor, Senin (8/7).

Sementara aset telah tumbuh sekitar 10 persen. Cahyo menyampaikan ini artinya BPRS dapat memaksimalkan penggunaan aset produktif sehingga pembiayaan dapat tumbuh 15 persen.

Posisi Dana Pihak Ketiga (DPK) naik jadi Rp 8,1 triliun dari Rp 7,2 triliun secara tahunan. Rasio kecukupan modal pun masih terbilang aman yakni di atas level 20 persen. 

Sekretaris Jenderal Kompartemen BPRS Asbisindo, Alfi Wijaya menyampaikan portofolio BPRS memang mengalami perlambatan. Kondisi perekonomian yang kurang kondusif membuat BPRS tidak bisa lari sekencang biasanya.

Dalam kondisi normal, BPRS bisa tumbuh hingga di atas 20 persen. Selain itu, beberapa kondisi di tanah air juga turut menyumbang pada perlambatan bisnis, khususnya dalam mengakses likuiditas.

"Pemilu cukup berdampak signifikan, karena sektor perdagangan menjadi salah satu yang injured padahal itu fokus utama kami," katanya.

Selain pemilihan umum presiden dan anggota legislatif, bulan Ramadhan dan tahun ajaran baru sekolah anak juga menjadi faktor pendukung penurunan likuiditas. Dana-dana masyarakat semakin sulit masuk lembaga keuangan sehingga tahun ini dan tahun depan, BPRS memasang target moderat atau lebih rendah dari biasanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement